Bapak Ornitologi Indonesia dan Keresahan Dies Natalis
"Menyenangi pekerjaan. Kalau ndak senang, (bakal) frustasi dan sakit"
Begitu pesan beliau pada kami saat menjelaskan tentang salah satu nilai hidupnya. Pagi itu (9/6) kami mengunjungi rumah beliau di Menteng, Jakarta Pusat. Kediaman yang bersahaja dan sambutan hangat beliau begitu berkesan bagi kami saat berkunjung. Kami merasa disambut dengan baik dan akrab ketika mewawancarai beliau.
Prof. Soma, begitu beliau akrab disapa, merupakan guru besar emeritus Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) yang telah mengabdi di UI sejak 1952. Beliau juga merupakan dekan Fakultas Ilmu Pasti & Ilmu Alam (FIPIA) UI - sekarang FMIPA UI - yang menjabat dari 1978 - 1984. Perannya sebagai ahli ilmu burung atau ornitologi menjadikannya sebagai orang pertama yang mendalami ilmu tersebut di Indonesia. Tidak heran kemudian beliau disebut sebagai “Bapak Ornitologi Indonesia”. Beliau telah banyak menghasilkan karya di bidang ornitologi serta menerima banyak penghargaan di antaranya Habibie Award Periode XIII Tahun 2011 dan Penghargaan Sarwono Prawirohardjo XI yang diberikan oleh LIPI.
Pada saat kami disambut di ruang tamu, beliau bertanya tentang Kantor Arsip UI dan profil diri kami masing-masing. Prof. Soma kemudian langsung mendiskusikan tentang kondisi UI saat ini. Cukup lama kami berdiskusi, kami kemudian diajak masuk ke ruangan kerja beliau. Prof. Soma sangat bersemangat menceritakan sejarah UI dan kaitannya dengan penetapan Dies Natalis UI yang menurutnya keliru. Layar komputernya menayangkan tulisan-tulisan yang ia buat untuk almamater tercintanya, UI. Usianya yang sudah lebih dari 90 tahun tak membuatnya lupa akan memori tentang UI dan masa lalunya.
Selain membahas mengenai sejarah, Dies Natalis, logo & motto UI, beliau juga menceritakan masa mudanya. Saat menjawab pertanyaan kami, beliau ingat betul tentang yang dia alami lengkap dengan tanggal dan tahunnya. Beliau menceritakan masa kecilnya yang menjadi tentara, padahal saat itu ia belum tamat SMP. Baginya, gelar veteran tidak beliau ambil karena ia merasa itu adalah kewajibannya sebagai warga negara.
Gelar doktornya didapat dari Freie Universiteit, Jerman Barat. Beliau menceritakan juga mengenai disertasinya tentang pacet (lintah) yang dikerjakan karena menuruti keinginan promotornya. Lebih lanjut lagi beliau menceritakan masa awal ia bertugas di UI Bogor sebagai tenaga pengajar dan menjelaskan konteks sejarah masa Orde Lama. Dari situ kami mendapatkan perspektif langsung dari saksi sejarah yang hidup pada masanya.
Wawancara kami ditutup dengan pesan dari nilai-nilai hidup beliau yang dipegang erat hingga kini. Baginya, ada tiga hal penting yang harus ia pegang yaitu (1) mencintai pekerjaan; (2) kejujuran; dan (3) berbuat baik pada siapapun tanpa pamrih. Bagi kami, pesan beliau begitu mendalam. Apalagi saat ini melihat kondisi Indonesia yang masih banyak ditemukan korupsi. Sungguh memilukan. Obrolan kami dengan beliau akan tersimpan dan menjadi pesan yang terus disampaikan oleh generasi penerus.
Saksikan wawancara lengkapnya klik video di bawah.
Penulis: Ahmad Zainudin
09/05/2022 - 08:37