Sjarif Thajeb: Dokter Militer jadi Rektor UI
Tahukah kamu, pada tahun 1962—1964, jabatan Rektor Universitas Indonesia (UI) pernah diisi oleh seorang dokter militer berpangkat Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI)? Teuku Mohammad Sjarif Thajeb, merupakan Rektor ke-5 UI yang berlatar belakang dokter militer. Sjarif Thajeb lahir di Peurelak, Aceh, pada tanggal 7 Agustus 1920. Ia adalah anak pertama dari seorang uleebalang (hulubalang) yaitu Teuku Chik Muhammad Thayeb. Gelar Teuku tersebut turun dari ayahnya yang merupakan seorang keturunan bangsawan Aceh.
Pendidikannya dimulai dari Europeschee Lagere School (ELS) yang merupakan sekolah dasar pada masa pemerintahan Kolonial Belanda dan diperuntukkan bagi keturunan Eropa serta keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka. Sjarif Thajeb kemudian melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burger School (HBS) dengan program 5 tahun dari tahun 1933—1938 di Aceh. HBS merupakan sekolah menengah umum pada masa pemerintahan Kolonial Belanda yang diperuntukkan bagi orang Belanda, Eropa, Tionghoa dan elite pribumi. Setelah menamatkan sekolahnya di HBS, ia melanjutkan pendidikannya yang saat itu adalah masa pendudukan Jepang di Perguruan Tinggi Kedokteran Jakarta yang bernama Ika Dai Gaku. Sjarif lulus pada tahun 1945 dan mendapatkan ijazah kedokteran dari Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta.
Semasa kuliah, ia turut berperan dalam mendesak Soekarno untuk memproklamirkan kemerdekaan dari Jepang. Pada tanggal 15 Agustus 1945, ia bersama beberapa mahasiswa lain seperti Eri Soedeweo, Chandra, Alif, Soebadio Sastrosatomo, dan yang lainnya berkumpul di Jl. Pegangsaan Timur Nomor 17 untuk melaksanakan rapat (Hatta, 1969). Hasil rapat tersebut kemudian dibicarakan dengan Soekarno yang isinya adalah mendesak Soekarno untuk menyatakan kemerdekaan. Ternyata jiwa aktivis dari Sjarif Thajeb sudah ada sejak ia masih bersekolah di Aceh. Ia aktif dalam berbagai gerakan politik, namun dilakukannya dengan sembunyi, mengingat bahwa Aceh adalah lokasi yang strategis bagi tumbuhnya gerakan penentangan terhadap kolonialis Belanda. Mengingat saat itu Belanda melancarkan politik opresif dan polisi mata-mata (Politieke Inlichtingen Dienst-PID) (Gusti, 2018).
Ia kemudian mengabdikan diri sebagai dokter militer. Kariernya dalam kemiliteran dimulai saat ia menempuh pendidikan militer melalui jalur Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selama mengabdikan diri sebagai dokter milter, ia terlibat dalam beberapa penumpasan pemberontakan yang terjadi di Indonesia, seperti penumpasan pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun tahun 1948 dan penumpasan upaya pendirian Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1952 (Sumardi, 1984). Setelah itu, ia ditugaskan di Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKB-DR) dari Divisi Siliwangi pada tahun 1955.
Seakan tidak puas dengan ilmu yang ia punya, Sjarif Thajeb kemudian memperdalam pengetahuannya mengenai Ilmu Kesehatan Anak di Harvard Medical School, Boston, Amerika Serikat dari tahun 1955—1957. Tidak hanya berhenti di satu universitas, ia kembali melanjutkan pendidikannya di Temple University Medical School, Philadelphia, Amerika Serikat pada tahun 1957 hingga 1959. Selang dua tahun setelah menamatkan pendidikannya di Temple University Medical School, pada tahun 1961 ia diangkat menjadi Direktur Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) yang sekarang lebih dikenal dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) (Gusti, 2018). Selain itu, ia juga turut mengambil bagian dalam bidang akademik, yakni dengan mengajar di Fakultas Kedokteran UI bagian anak.
Setahun berselang sejak pengangkatannya sebagai kepala RSUP, pada tahun 1962, ia diangkat menjadi rektor kelima UI hingga tahun 1964. Sjarif Thayeb merupakan rektor UI pertama yang mempunyai latar belakang militer. Pada masa jabatannya sebagai rektor, kariernya di dunia kemiliteran pun semakin melonjak. Ia mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI. Proses pelantikannya dilakukan oleh Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal A. Yani.
Ketika menjabat Rektor UI, Sjarif Thajeb berperan dalam pendirian Fakultas Teknik UI. Pendirian ini berawal dari gagasan beberapa anggota Perkumpulan Insinyur Indonesia (PII), yakni Ir. Slamet Bratanata, Ir. Roosseno, Ir. Sutami, dan Ir. Suhud. Usul tersebut kemudian disampaikan oleh Sjarif Thajeb selaku Rektor UI bersama dengan pengurus PII kepada Presiden Soekarno. Gagasan tersebut kemudian diterima baik oleh Presiden Soekarno. Pada tahun 1964 Fakultas Teknik UI kemudian didirikan di Salemba dan Ir. Roosseno ditunjuk sebagai Dekan pertama FTUI. Pada masa awal pendiriannya, FTUI hanya terdiri dari tigas jurusan, yaitu Teknik Sipil, Teknik Mesin, dan Teknik Listrik (sekarang menjadi Teknik Elektro) (Somadikarta et al., 1999).
Pada masa kepemimpinan Sjarif Thajeb, UI memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Carlos Peña Rómulo, Diplomat Filipina dan Norodom Sihanouk, Raja Kamboja (pada tahun 1941-1955 dan 1993-2004). Tak berselang lama, Sjarif Thajeb kemudian diamanahkan oleh Presiden Soekarno, untuk menjadi Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) dalam Kabinet Dwikora dari tahun 1964 hingga 1966. Posisinya sebagai Rektor UI kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Ir. Sumantri Brojonegoro.
Ketika menjabat sebagai menteri, Sjarief Thajeb mendukung kebebasan akademis dan kebebasan berpendapat di Perguruan Tinggi. Sikap itu salah satunya terlihat dari dukungannya terhadap kegiatan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), organisasi yang berperan penting dalam aksi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) di masa Orde Lama. Indonesia mengalami gejolak politik dan krisis ekonomi pada tahun 1966. Hal itu mendorong mahasiswa untuk melancarkan aksi Tritura. Sebagai Menteri PTIP, Sjarif Thajeb berperan penting dalam merangkul aksi mahasiswa tersebut. Organisasi KAMI bahkan diketahui terbentuk ketika Sjarif Thajeb mengumpulkan para tokoh mahasiswa di rumahnya untuk berdiskusi.
Setelah selesai menjabat sebagai menteri, ia bergabung menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan terpilih menjadi wakil ketua dari DPRGR hingga tahun 1971. Kariernya di dunia pemerintahan kemudian berlanjut lagi ketika ia ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Amerika Serikat dan Brazil pada tahun 1971 hingga 1974 yang berkedudukan di Washington.
Di akhir masa jabatannya sebagai Duta Besar, pada tanggal 22 Januari 1974 ia diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) dalam Kabinet Pembangunan II. Pada masa kepemimpinannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dari tahun 1974-1978, ia mengeluarkan beberapa kebijakan, seperti pembangunan SD Inpres, Keringanan dan Pembebasan SPP, Kebijakan Pendidikan Guru, pendidikan di luar sekolah, pemberian beasiswa, serta peningkatan mutu pendidikan dengan melakukan pembaharuan pada kurikulum dan relevansi pendidikan.
Selain menaruh perhatian pada pendidikan dasar dan menengah, Sjarif Thajeb juga mencurahkan perhatiannya yang besar untuk Perguruan Tinggi. Satu tahun setelah dilantik sebagai Menteri, ia membentuk Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Selain itu, di masa kepemimpinannya, diterapkan juga sistem penerimaan mahasiswa baru bernama Sekretariat Kerjasama Antar Lima Universitas (SKALU) yang kala itu dilaksanakan oleh Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (UNAIR).
Karirnya di dunia politik kemudian berlanjut lagi ketika ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) selama dua periode, yakni pada tahun 1978-1983 dan pada tahun 1983-1988. Ia juga menjadi pimpinan anggota di berbagai organisasi kedokteran, seperti Ketua Konferensi Pediatrics Asia Afrika, Ketua Pendidikan Tinggi Asia Tenggara (ASA IHL), dan ia juga aktif sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Atas jasa-jasanya, Sjarif Thajeb memperoleh beragam penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Salah satunya adalah Order of the Sacred Treasure (1st Class) dari Pemerintah Jepang. Kecintaannya pada dunia akademik juga mengantarkannya menerima dua gelar Doktor Honoris Causa (DR. HC.), yaitu dari Mindanao University, Filipina di tahun 1967 dan dari Womens University, Manila di tahun 1975 (Somadikarta et al., 1999). Kedua gelar kehormatan tersebut dianugerahkan kepadanya atas perannya dalam bidang pendidikan. Pada 3 November 1989, Sjarif Thajeb tutup usia di umurnya yang ke-69 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Referensi:
Asnan, Gusti. (2018). Biografi Tujuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI (Republik Indonesia: dari Proklamasi sampai Demokrasi Terpimpin). Jakarta: CV. Tumaritis.
Hatta, Mohammad. (1969). Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Djakarta: Tintamas.
Nugraha, Muhammad Viky. (2023). Syarif Thayeb dan Gerakan Mahasiswa di Indonesia pada Dua Zaman (1964-1978). FACTUM: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah, 12(1), 23-32.
Somadikarta, S., Wahyuning, Tri., Irsyam, M., Oemarjati S, Boen. (1999). Tahun Emas Universitas Indonesia. Depok: Universitas Indonesia
Sumardi, S., dkk. (1984). Menteri-menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sejak Tahun 1966. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Team Redaksi Djurusan Sedjarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. (1967). Sedjarah Singkat Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tim Penyusun. (1995). 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT. Citra Media Persada