
Filosofi Elemen: Lokomotif tentu memerlukan jalur. Jalur yang menjadi landasan untuk bergerak. Jalur tersebut menjadi memori di mana lekukan dan arahnya selalu diingat.Perpaduan elemen garis dan lengkung menggambarkan jalur tersebut, sedangkan gradien warna gelap ke terang menggambarkan perjalanan KAI dari dulu hingga kini
Pembangunan jalur kereta api Batavia—Buitenzorg pada 1869 menjadi tonggak penting transportasi di Hindia Belanda. Jalur ini dirancang bukan sekadar alat angkut, melainkan sarana strategis untuk mempercepat arus komoditas dan mobilitas pemerintahan kolonial.
Proyek ini digagas sejak 1864 oleh Nederlandsch‑Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), perusahaan Belanda yang sebelumnya telah membangun jalur Samarang—Tanggoeng. Jalur Batavia–Buitenzorg menggunakan rel berlebar lebih sempit dibanding proyek sebelumnya demi efisiensi biaya dan penyesuaian terhadap kontur dataran tinggi di Jawa Barat.
Dengan panjang 59 km, jalur ini selesai secara bertahap dan resmi beroperasi pada tahun 1873. Kini jalur rel kereta api Jakarta—Bogor telah bertransformasi menjadi tulang punggung transportasi publik Jakarta dan sekitarnya, mengangkut ribuan harapan, cerita, dan doa tiap harinya.
Sejarah Jalur Kereta Api Batavia—Buitenzorg
Sejarah pembangunan jalur kereta api Batavia—Buitenzorg dimulai pada tahun 1964. Hal ini terekam dalam beberapa surat kabar masa kolonial, seperti Nieuwe Rotterdamsche Courant dan De Locomotief yang memberitakan wacana permohonan konsesi serta pemberian konsesi melalui Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 1 tanggal 27 Maret 1864. Kendati mendapat izin konsesi pembangunan tahun 1864, pembangunan jalur ini baru dilakukan pada 1869.
Selama lima tahun, NISM dan Pemerintah Hindia Belanda sengit mengkaji lebar rel kereta untuk alasan efisiensi biaya dan keamanan kereta. Awalnya, lebar rel dirancang selebar 1.435 milimeter (standard gauge) sebagaimana lebar rel Samarang—Tangoeng, tetapi Menteri Urusan Jajahan Belanda, Engelbertus de Waal, memutuskan lebar rel dipersempit menjadi 1.067 milimeter (cape gauge). Keputusan ini bersumber dari hasil penelitian insinyur perkeretaapian, J.A. Kool dan guru besar sekolah politeknik di Delft, N.H. Henke

Berita mengenai konsesi pembangunan jalur kereta api Batavia—Butenzorg tahun 1864. (Sumber: De Locomotief)

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van de Beele. (Foto: Rijksmuseum)

Menteri Urusan Jajahan Belanda, Engelbertus de Waal, memutuskan lebar rel dipersempit jadi 1.067 milimeter. (Foto: KITLV)

N.H. Henket menilai bahwa penggunaan rel sempit akan lebih aman dan stabil ketika dilalui kereta. (Foto: Rijksmuseum)
Pembangunan dan Peresmian Jalur
Surat kabar Java-bode (23/10/1869) memberitakan peletakan batu pertama pembangunan jalur Batavia-Buitenzorg yang akan dihadiri oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada Senin, 25 Oktober 1969. Pada masa itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh Pieter Mijer menggantikan Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van de Beele.

Berita tentang peletakan batu pertama pembangunan jalur Batavia-Buitenzorg. (Sumber: Java-bode)

Gubernur Jenderal Belanda, Pieter Mijer. (Foto: Rijksmuseum)
Jalur ini baru benar-benar selesai pengerjaannya tahun 1873. Ini dibuktikan dengan sebuah poster pembukaan jalur Batavia—Buitenzorg yang terdapat pada surat kabar Bataviaasch handelsblad bertanggal 30 Januari 1873. Di samping kanan poster pembukaan tersebut, terdapat juga jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta pada masing-masing stasiun atau halte. Hal tersebut bertujuan mengoptimalkan pengangkutan hasil perkebunan seperti teh, kopi, kina, nila, dan barang dagangan lainnya ke Pelabuhan Sunda Kelapa (Batavia). Dari sisi politik, pemerintahan Hindia Belanda memandang jalur tersebut sangat penting untuk kelancaran hubungan administrasi pemerintahan.

Poster peresmian Jalur Kereta Api Batavia—Buitenzorg 1873. (Sumber: Bataviaasch handelsblad)

Jadwal Pertama Kereta Api Jalur Batavia—Buitenzorg 1873. (Sumber: Bataviaasch handelsblad)
Jalur awal Batavia-Buitenzorg terdiri atas 15 pemberentian yang terbagi dalam 4 kategori; stasiun utama (hoofdstatsion), stasiun kecil (station), halte besar (halte) dan halte kecil (overweg). Stasion utama berada di Batavia dan Buitenzorg. Stasiun kecil berada di Meester Cornelis. Untuk halte besar dan kecil terdapat di: Cileboet, Bodjong Gede, Tjitajam, Depok, Pondok Tjina, Lenteng Agoeng, Pasar Minggoe. Halte lainnya terdapat di Pegangsaan, Koningsplein, Noordwijck, dan Sawah Besar. Satu lagi halte yang terpisah adalah halte Kleine Boom.
Elektrifikasi Kereta Api
Pada awal abad ke-20 terjadi perubahan besar dalam sistem perkeretaapian dunia, khususnya di wilayah Eropa. Pada saat itu elektrifikasi jalur kereta perlahan mulai menggantikan sistem lokomotif uap. Hal ini pula yang coba diterapkan oleh Pemerintah Kolonial untuk mengelektrifikasi jalur-jalur kereta api di Hindia Belanda.
Pada tahun 1911 seorang insinyur di operator perusahaan kereta api Hindia Belanda (Staatsspoorwegen), M. H. Damme, ditugaskan untuk memelajari kemungkinan elektrifikasi jalur kereta api Batavia—Buitenzorg. Studi Damme lalu dilanjutkan oleh Kepala Teknisi Staatsspoorwegen, P. A. Roelofsen, yang akan memelajari kelayakan penggunaan tenaga air sebagai sumber daya listrik kereta api.
Tahun 1915, pemerintah kolonial mendirikan Biro Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebagai tindak lanjut studi Roelofsen. Berdasarkan kedua laporan tersebut, Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum yang didukung Wakil Ketua Dewan Hindia Andries Cornelis Dirk de Graeff menyetujui proyek elektrifikasi kereta di Jawa tahun 1918. Setahun kemudian, pembangunan PLTA Oebroeg di Sukabumi dimulai, diikuti PLTA Kratjak di Sungai Tjianten, Bogor tiga tahun setelahnya.
Elektrifikasi jalur dimulai pada koridor Tanjung Priok ke Meester Cornelis pada Juli 1923. PLTA Oebroeg juga telah mulai operasional di tahun yang sama, mengalirkan listrik ke gardu traksi yang dibangun di Kedungbadak, Depok, Jatinegara, dan Ancol. Namun, elektirifikasi menuju Buitenzorg tertunda akibat pembangunan PLTA Kratjak terhenti karena krisis ekonomi.

Foto Stasiun Meester Cornelis sekitar tahun 1925. (Foto: KITLV)

Stasiun Tandjoengpriok sekitar tahun 1925. (Foto: KITLV)

Kereta api dengan jaringan listrik aliran atas di Stasiun Manggarai. (Foto: KITLV)

Foto jaringan listrik aliran atas di Stasiun Tandjoengpriok tahun 1930. (Foto: KITLV)
Tahun 1925, koridor Tanjung Priok ke Meester Cornelis dinyatakan siap dioperasikan menggunakan kereta listrik. Namun, peresmian operasional kereta listrik baru dilakukan pada 6 April 1925 di Stasiun Tanjung Priok untuk rute Tanjung Priok-Meester Cornelis, bertepatan dengan perayaan 50 tahun Staatsspoorwegen.
Setelah selesai mengelektrifikasi jalur Tandjoengpriok—Meester Cornelis, Staatsspoorwegen melanjutkan jaringan elektrifikasi Meester Cornelis—Weltevreden—Boekit Doeri—Batavia—Buitenzorg. Tahun 1930 kereta listrik jalur Batavia—Buitenzorg sudah beroperasi secara penuh.

Stasiun Weltevreden (Gambir) tahun 1938. (Foto: KITLV)

Foto Stasiun Batavia sekitar tahun 1930. (Foto: KITLV)

Foto Stasiun Buitenzorg sekitar tahun 1927. (Foto: KITLV)

Foto Stasiun Depok sekitar tahun 1925. (Foto: KITLV)
Kereta Api Masa Jepang dan Agresi Militer Belanda
Perkembangan kereta api di masa Pendudukan Jepang (1942-1945) mengalami kelumpuhan. Perusahaan-perusahaan kereta api baik dari negara maupun swasta dibubarkan. Seluruh jaringan transportasi dikuasai oleh Jepang untuk kepentingan perang sehingga jadwal-jadwal kereta api menjadi kacau.
Masuk masa-masa awal kemerdekaan, jaringan kereta api di Indonesia banyak mengalami masalah. Hal ini disebabkan perang kemerdekaan yang membuat jalur-jalur kereta api rusak parah terutama pada KRL. Kereta-kereta rusak dan mati pada bagian motor listrik penggeraknya. Bahkan, tahun 1964 gardu listrik di Ancol dan Jatinegara yang merupakan pembangkit untuk KRL diberhentikan karena rusak dan tidak ada dana perbaikan.

Foto tentara Belanda yang sedang berjaga di Stasiun Kalibata tahun 1948. (Foto: Nationaal Archief)

Poster Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api Masa Jepang) tahun 1944. (Sumber: beeldbankwo2.nl)

Foto tentara Belanda yang sedang berjaga di Stasiun Manggarai tahun 1948. (Foto: Nationaal Archief)
Modernisasi Kereta Api Pascakemerdekaan
Memasuki pertengahan tahun 1970-an, wajah perkeretaapian Indonesia mulai berbenah. Pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam merancang kembali jalur-jalur yang terbengkalai, mendatangkan armada kereta baru, dan menyusun langkah-langkah modernisasi secara lebih terarah. Dalam proses ini, kerja sama dengan Jepang menjadi salah-satu tonggak penting dalam upaya pembaruan kereta api Indonesia.

Melalui Inpres Nomor 13 Tahun 1976, pengembangan wilayah Jabotabek mulai dirancang dengan serius. Wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi diharapkan mampu menjadi daerah pemukiman baru bagi penduduk Jakarta. Untuk menarik penduduk Jakarta tinggal di wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi, maka diperlukan sarana transportasi yang saling terintegrasi, modern, serta efisien agar penduduk tidak ragu untuk tinggal di wilayah tersebut, dan transportasi yang menunjang pengembangan wilayah ini adalah kereta api
Pada tahun 1980, Pemerintah Indonesia melakukan kerja sama dengan Pemerintah Jepang dalam penyusunan rencana jangka pendek untuk pengembangan jalur transportasi berbasis jalan rel di kawasan Jabotabek. Komponen-komponen proyek yang disarankan oleh Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) antara lain: Membangun jalur rel ganda; Jalur layang Manggarai—Jakarta Kota; Memperbarui sistem persinyalan dan sistem keselamatan kereta otomatis; Meninggikan peron; Membangun jembatan serta underpass penyebrangan penumpang.
Setelah JICA menyusun rencana induk proyek modernisasi kereta api Jabotabek (1980—2001), Presiden Soeharto menekan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1982 tentang Pembentukan Team Koordinasi Pengendalian Pembangunan Kereta Api Jakarta—Bogor— Tangerang—Bekasi (Jabotabek). Tujuan adanya Keppres ini agar team koordinasi sebagai pengarahan agar perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan kereta api Jabotabek dapat berjalan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Keppres No. 26 Tahun 1982 tentang Pembentukan Team Koordinasi Pengendalian Pembangunan Kereta Api Jabotabek

Peresmian pembangunan jalur rel ganda Jabodetabek rute Manggarai—Depok oleh Menteri Perhubungan. (Foto: Sinar Harapan. 19 Feb 1983. Versi cetak. Perpustakaan Nasional RI)

Maket jalur layang Manggarai—Jakarta Kota. (Foto: Kompas 13 Feb 1986. Versi cetak. Perpustakaan Nasional RI)

Presiden Soeharto saat peresmian Stasiun Gambir dan jalur layang kereta api Manggarai—Jakarta Kota. (Foto: Angkatan Bersenjata. 06 Jun 1992. Versi cetak. Perpustakaan Nasional RI)
Setahun setelah selesainya pembangunan jalur layang Manggarai—Jakarta Kota, pada 3 November 1993 terjadi tabrakan antar kereta api di Ratu Jaya yang mengakibatkan 220 korban. Setelah kejadian tersebut, unjuk rasa terjadi meminta Menteri Perhubungan (Haryanto Dhanutirto) ketika itu untuk turun dari jabatannya, mendesak pemerintah bertanggungjawab atas para korban, serta mendesak perbaikan dan pemerataan moda transportasi umum khususnya kereta api. Merespons kejadian tersebut, Presiden Soeharto meminta untuk mempercepat pembangunan jalur ganda tahap dua yang menyambungkan wilayah Depok—Bogor.

Berita kecelakaan antar kereta di Ratu Jaya 1993. Sebanyak 220 orang menjadi korban dari kecelakaan kereta yang masih berada di jalur tunggal ini. (Sumber: Angkatan Bersenjata. 03 Nov 1993. Versi cetak. Perpustakaan Nasional RI)

Berita unjuk rasa menuntut turunnya Haryanto Dhanutirto sebagai Menteri Perhubungan. (Sumber: Angkatan Bersenjata. 06 Nov 1993. Versi cetak. Perpustakaan Nasional RI)

Presiden Soeharto segara memerintahkan pembentukan tim untuk mempercepat pembangunan Jalur Rel Ganda KRL Depok—Bogor. (Sumber: Kompas. 04 Nov 1993. Versi cetak. Perpustakaan Nasional RI)
Pembangunan rel ganda Depok—Bogor mulai dilaksanakan tahun 1994. Pembangunan ini dapat dikatakan sebagai pembangunan yang cepat karena hanya dilakukan dalam waktu 2 tahun, dimulai pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 1996. Tidak ada kendala yang menghambat dalam pembangunan rel ganda Depok-Bogor. Pembangunan rel ganda dilengkapi dengan elektrifikasi serta sinyal otomatis sehingga kereta api dari Bogor menuju Jakarta atau sebaliknya bisa berjalan pada tahun 1996.

Pembangunan Jalur Rel Ganda KRL Depok—Bogor tahun 1994. (Foto: Perpustakaan Nasional RI)

Berita peresmian jalur rel ganda KRL Depok—Bogor 1996. (Sumber: Angkatan Bersenjata,.18 Sep 1996. Versi cetak. Perpustakaan Nasional RI)