Hariman Siregar: Dibui & Terancam Mati

Peristiwa 15 Januari 1974 atau yang biasa disebut Malari 1974 (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah aksi unjuk rasa bersejarah selama masa Orde Baru. Unjuk rasa itu diadakan mahasiswa untuk menyampaikan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yakni perihal pembubaran asisten pribadi, penurunan harga-harga barang, dan pemberantasan korupsi (Tempo, 2025). Mahasiswa berupaya menyampaikan langsung tuntutan tersebut pada Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka yang saat itu dalam kunjungannya ke Jakarta (14—17 Januari 1974) untuk urusan kerja sama Jepang-Indonesia. Sayangnya, unjuk rasa tersebut diwarnai aksi ricuh—yang entah didalangi siapa—dan membuat banyak tokoh unjuk rasa ditangkap aparat. Salah satu yang ditangkap adalah Hariman Siregar, mahasiswa Fakultas Kedokteran sekaligus Ketua Dewan Mahasiswa UI yang kemudian dituduh atas kekacauan Malari 1974.

Foto: Dokumentasi Arsip Universitas Indonesia
Pada 8 Maret 2023 lalu, Kantor Arsip Universitas Indonesia melakukan wawancara untuk program Penelusuran Sejarah Lisan (PSL) dengan aktivis Malari, Hariman Siregar. PSL merupakan program Kantor Arsip UI dalam mengumpulkan informasi mengenai Universitas Indonesia dan peristiwa penting di masa lalu melalui wawancara dengan para tokoh dan alumni UI, termasuk aktivis seperti Hariman. Program ini bertujuan memperkaya khazanah arsip statis UI dan menambah referensi atau deskripsi bagi tiap arsip statis.
Wawancara dilakukan di Klinik Utama Baruna, kantor narasumber dan kampus UI Salemba—di mana tim Arsip UI berkesempatan untuk melihat tempat-tempat historis saat Malari—selama tiga setengah jam dari pukul 13.30 hingga 17.00. Selama wawancara, Hariman membagikan informasi terkait kehidupan sekolahnya yang sarat akan gejolak politik, kegiatan kemahasiswaan semasa berkuliah, dan peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974.
Masa Remaja Hariman Siregar
Sejak masih bersekolah, Hariman sudah familiar dengan gejolak politik Indonesia. Ia tinggal di Padang Sidempuan, Sumatera Utara sebelum pindah ke Jakarta dan menyaksikan berbagai kejadian sejarah mulai dari PRRI/Permesta, Peristiwa Maukar 1960, hingga Gerakan 30 September (G30S).

Foto: Kompas
“Kita itu tiap hari nggak sekolah, mulai dari Oktober 1965 sampai saya kira setahun. Makanya diundur enam bulan kenaikan kelasnya. Jadi, tahun 66 nggak ada lulusan,” ungkap Hariman tentang gejolak politik di tahun 1965.
Setelah lulus SMA, Hariman melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pilihan ini didasari oleh cita-citanya saat kecil dan kegemarannya membaca novel tentang dokter. Ketika ia mengikuti seleksi masuk FK UI di tahun 1968, angkatannya merupakan angkatan pertama yang memakai komputer untuk ujian masuk serentak. Hariman mengungkapkan bahwa total calon mahasiswa kala itu mencapai 2000 orang, tetapi yang diterima hanya 150 orang, termasuk dirinya.

Foto: Arsip Universitas Indonesia
Masa Kuliah Hariman Siregar
Selama berkuliah, Hariman aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Ia menjadi anggota Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) di tingkat 2 dan mengikuti Pertemuan Mahasiswa Kedokteran se-Indonesia di tingkat 4 menuju 5. Setelahnya, Hariman menjadi Ketua Senat FK UI yang kerap memfasilitasi kebutuhan akademik mahasiswa, seperti membuat diktat kuliah dan mengurus kegiatan pengabdian masyarakat. Ia juga banyak berinteraksi dengan pengurus senat lain dan ikut kegiatan grup diskusi kampus.

Foto: Arsip Universitas Indonesia

Foto: Arsip Pribadi Hariman
Aktifnya Hariman menjadi salah satu faktor yang membuatnya terpilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) UI di tahun 1973. Ia berhasil menang tipis melawan Ismet Abdullah, calon ketua dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sekaligus Ketua Senat Fakultas Ekonomi (FE UI) kala itu. Selama menjadi ketua Dema, Hariman aktif membantu kebutuhan unit kegiatan mahasisiswa (UKM) dan menggelar kejuaraan olahraga, seperti Biennial Intervarsity Games (BIG).
Menurut Hariman, organisasi kemahasiswaan di era itu sangat demokratis. Strukturnya terdiri dari lembaga eksekutif, yakni Senat dan Dema, serta lembaga legislatif, yakni BPM dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) yang berwenang memilih ketua Dema. Audiensi dengan pihak eksternal seperti kementerian pun mudah, “Itu ngomong biasa aja sama menteri. Nggak ada jarak.”
Rektor yang menjabat, Prof. Mahar Mardjono, juga memahami dinamika perpolitikan kampus sehingga tidak ada mahasiswa yang di-drop out karena kegiatan aktivismenya, “Kita nggak takut diberhentikan karena nggak ada yang memberhentikan mahasiswa. Rektor kita itu manusia yang mengerti (bahwa) ini (adalah persoalan) intelektual, nggak main kasar.”
Meski aktif berorganisasi, Hariman giat mengejar ketertinggalannya di bidang akademik. Namun, kelulusannya tertunda hingga tiga tahun karena ia dipenjara pasca peristiwa Malari, “Karena saya ditahan tiga tahun, saya tamat (kuliah) di tahun 77. Harusnya di tahun 73-74.”
Hariman Siregar & Malari 1974
Bagi Hariman, Malari muncul karena pergolakan kenegaraan yang menumpuk, mulai dari kritik mahasiswa soal korupsi yang dilakukan Presiden Soeharto, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang memakan anggaran besar, sampai Pemilu 1971 yang dianggap curang. Malari dianggap sebagai puncak dari keresahan masyarakat atas gejolak-gejolak yang terjadi.
Hariman mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi karena kesadaran bahwa prioritas pemerintah untuk perkembangan negara keliru setelah melakukan berbagai pembicaraan dalam grup diskusi UI, “Di situ kita bicara bahwa strategi pembangunan (negara) kita ini sebenarnya keliru, ngejar-ngejar pertumbuhan. Pertumbuhan itu nggak berarti apa-apa, (hanya) angka-angka aja.”

Foto: Tempo/Syahrir Wahab

Foto: Majalah Alumni UI
Saat terpilih sebagai ketua DEMA, Hariman dan rekan-rekan membuat Petisi 24 Oktober 1973 untuk pemerintah. Petisi ini kemudian memantik perkembangan gerakan protes dari dewan mahasiswa seluruh Indonesia yang berpuncak pada peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Mahasiswa kala itu mengadakan demo untuk menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka karena dianggap sebagai simbol modal asing. Hariman mengatakan bahwa ia sempat diundang untuk rapat bersama dengan Tanaka, tetapi ditolak.
“Saya dapat undangan untuk diskusi sama Tanaka tanggal 15 Januari. Karena kita (sedang) rapat di Student Center (tentang hal terkait), diputuskan semua pada nggak mau (hadir). Ya, terpaksa undangannya nggak kita layani, kita demo besoknya,” jelas Hariman.
Sayangnya, demo mahasiswa diwarnai kericuhan akibat pembakaran. Hariman mengaku bahwa mahasiswa tidak tahu-menahu mengenai kisruh yang terjadi. Namun, ia, beberapa mahasiswa, dan para tokoh lain dituduh melakukan subversi—upaya menggulingkan pemerintah. Hariman dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan sempat diancam hukuman mati. Meski begitu, ia hanya menjalankan hukuman tiga tahun penjara dan bebas di tahun 1976.
Wawancara ditutup dengan pesan Hariman pada mahasiswa. Ia mengatakan agar mahasiswa menentukan jalannya sendiri tanpa harus berpatokan pada standar yang ada, “Masa depan itu masa depan mereka, mereka lah yang harus menentukan (untuk jadi) apa, (termasuk) jalan dan gambaran yang mereka mau capai. Jangan mereka ikutin yang disediakan oleh yang tua-tua.”

Foto: Arsip Universitas Indonesia

Foto: Media Indonesia/Agus Mulyawan
Referensi
Adam, Asvi Warman. (2007). Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Mukhti, M. F. (23 Maret 2018). Petisi 24 Oktober. Historia.id. Diakses pada 21 Februari 2025 pukul 13.02 melalui https://historia.id/politik/articles/petisi-24-oktober-D8Joo/page/2
Purnama, K. I. (15 Januari 2023). Peristiwa Malari 1974: Demonstrasi Tolak Kunjungan PM Jepang Kakuei Tanaka Berujung Rusuh. Tempo.co. Diakses pada 21 Februari 2025 pukul 13.09 melalui https://www.tempo.co/politik/peristiwa-malari-1974-demonstrasi-tolak-kunjungan-pm-jepang-kakuei-tanaka-berujung-rusuh-229152