Titik Sua

Elemen 5 Titik Sua-Oranye

Stasiun bukan hanya sekadar tempat naik-turun kereta. Lebih dari itu, setiap momen di stasiun melekat di ingatan penggunanya. Di balik bisingnya suara peluit dan pengumuman kereta api, terdapat langkah yang beradu membawa tekad dan harapan. Banyak kisah dan keringat terukir di antara kereta yang hilir-mudik membawa penumpang.

Stasiun UI dan Pondok Cina menyimpan denyut kehidupan mahasiswa UI yang tidak bisa lepas dari Buku, Pesta, dan Cinta. Buku yang menjadi simbol pemikiran dan wacana; pesta sebagai wujud perayaan kebersamaan dan kehidupan; serta cinta yang bersifat personal—baik pada sahabat, keluarga, pasangan, atau cita-cita yang terus diperjuangkan. Ketiganya hadir dan tumbuh dalam irisan waktu yang mengalir di peron-peron stasiun.

Sebagai titik sua manusia dengan segala tujuan, stasiun kerap menjadi tempat untuk bercengkrama, janji temu dengan kawan, panggung kesenian, serta sarana menyuarakan pendapat. Maka, tidak heran jika Stasiun UI dan Pondok Cina menyimpan kenangan di setiap inci stasiun.

 

 

 

TITIK SUA

 

Berbagi Antiseptik Kala Pandemi

Di tengah pandemi yang melanda, segelintir mahasiswa terus berupaya memberikan dampak bagi masyarakat. Mahasiswa Fakultas Farmasi UI membagikan antiseptik gratis kepada penumpang stasiun dan Ojek Mitra Kampus dalam rangka mencegah penyebaran virus corona yang tengah masif saat itu. Melalui langkah kecil ini, stasiun sebagai pusat mobilisasi menjadi pilihan Mahasiswa UI untuk menyebarkan semangat dan harapan bahwa dalam kondisi sulit sekalipun. (Foto: Humas UI)

 

Berbagi Antiseptik Kala Pandemi

 

 

Berbagi Antiseptik Kala Pandemi

 

 

Mengukir Langkah di Peron Stasiun UI 
peron

 

Langkah terciptanya di antara peron stasiun yang menjadi saksi semangat meraih mimpi. Kumpulan manusia dengan berbagai latar belakang mencipta jejak yang abadi dalam tangkapan gambar. Di sini tempat para pekerja, pelajar, dan masyarakat belajar disiplin dan berbagi ruang dengan mereka yang asing, tetapi satu nasib. | Foto: Arsip UI

 

 

stasiun

 

Stasiun UI menjadi salah satu gerbang masuk mahasiswa kehidupan kuliahnya. Dengan membawa tas di pundak dan buku di tangan, mereka siap memulai hari sebagai pelajar. Tempat percetakan ikut mewarnai langkahnya sebagai siswa yang tidak bisa jauh dari batas waktu tugas. | Foto: Arsip UI

 

 

a
Pengalaman Unik di Stasiun UI
oleh Anto Dwiastoro 

 

Stasiun Universitas Indonesia. Bahkan saat itu nama gang di mana kos saya berlokasi adalah “Gang Stasiun UI”.  

Pemandangan KRL Komuter Jabotabek berlalu-lalang pun menjadi suguhan sehari-hari saya. Bunyi deru roda KRL yang lewat Stasiun UI menjadi “jam weker” saya setiap pagi, yang menguntungkan saya jika ada jadwal kuliah pagi. Kedekatan kos saya dengan Stasiun UI membuat saya merasa stasiun itu adalah “garasi kendaraan pribadi” saya, karena tiap kali saya ingin ke Jakarta atau ke Bogor, saya tinggal jalan kaki kurang dari dua menit dari kos ke stasiun itu. Tapi cerita seru yang ingin diceritakan bukan terkait perjalanan dengan KRL, melainkan yang berikut ini...  

Saat itu, KRL terakhir lewat—seingat saya jam 23.00 WIB. Setelah jam itu, bila kebetulan ada beberapa teman main ke kos, saya ajak mereka nongkrong di peron Stasiun UI yang menyediakan bangku-bangku panjang. Teras di depan kamar kos saya terlalu sempit, lebih mirip emperan yang tidak bisa menampung banyak orang nongkrong, terlebih bila hujan.  

Suatu saat, ketika jam sudah menunjukkan lewat pukul sebelas malam, enam teman kuliah tiba-tiba datang bertamu ke kos saya. Perkara menyuguhkan makanan tidak terlalu menjadi soal bagi saya, karena di seberang pekarangan kos saya ada warung makan milik seorang kakek betawi pensiunan penjaga jalan lintasan (PJL) dan sebuah warung kopi yang dijalankan penghuni bedeng di seberang kamar kos saya.  

 

 

 

Tempat untuk nongkronglah yang menjadi kendala, tetapi jika saya ajak nongkrong di peron Stasiun UI yang sudah tutup pada jam tengah malam, akan kejauhan dari kedua warung tersebut. Bukannya apa, tapi malas saja jalan kaki bolak-balik ke warung dan peron karena harus menyusuri sisi rel yang berlapis kricak yang kadang menyebabkan kaki tersandung atau terpeleset.  

Setelah menimbang-nimbang sejenak, saya mendapat ide cukup gila: meminjam dulu bangku peron Stasiun U lalu mengangkutnya ke emperan depan kamar kos saya. Memang menyusahkan, tapi cukup sekali jalan malam itu. Saya dan tiga teman saya pun melangkah menuju peron Stasiun UI yang saat itu bisa di akses siapa pun karena tidak dijaga petugas keamanan. Kami menggotong satu bangku ke kos saya. Saat itu saya bertekad akan mengembalikan ke posisinya semula keesokan pagi sebelum KRL pertama lewat.  

Keesokan paginya, saya buru-buru bangun tidur untuk menjalankan misi pengembalian bangku peron Stasiun UI itu, tetapi akibat begadang semalaman bersama teman-teman, rupanya saya terlambat bangunnya. Sudah jam sembilan. Jadi saya harus membatalkan misinya karena bangku itu sudah diduduki sejumlah mahasiswa yang sedang menunggu pesanan fotokopi dokumen mereka. Kamar di sebelah kos saya dikontrak sebagai kios fotokopi. 

Saya berdoa saat itu, semoga saja petugas Stasiun UI tidak menyadari berkurangnya jumlah bangku peron. Misi pengembalian bangku peron baru berhasil saya laksanakan malamnya, di waktu yang sama ketika saya "meminjamnya".

Foto: Eko Siswono Toyudho/Tempo

 

 

Stasiun dan Halte UI sebagai Panggung Kesenian 
Teater
Teater
Teater

 

Sebuah pentas seni pernah disuguhkan di pelantaran Stasiun dan Halte UI. Menghibur setiap orang yang duduk menunggu di sana. Penampilan totalitas dari hati dibawakan oleh mereka yang mencintai seni peran. Senyum bahagia pun terukir abadi di depan Stasiun UI, menjadikannya saksi bahwa tempat ini pernah menjadi panggung yang mempertemukan para aktor dengan penonton tanpa tiket.

Foto: Marcel/Teater UI

 

 

Suatu Sore di Stasiun UI 
Oleh Zeffry J. Alkatiri
a

Foto: Donny Metri/Tempo (1991)

 

 

Tiada dentang lonceng berseru 
Bisu dan debu mengisi bangku-bangku 

Stasiun, 
Kita tidak lagi bercakap 
Tidak ada lagi penjual yang berteriak: 
Yang nyaring hanya jeritan besi baja 
Memecah kesangsian. 

Kemudian wajah-wajah layu dan kuyu 
Memenuhi pintu dan jendela kereta 
Mereka tampak tidak peduli 
Bahwa kita pernah menantinya

 

 

 

Keluarga di Stasiun Pondok Cina 

Di depan Stasiun Pondok Cina, berdiri sebuah keluarga kecil yang tersenyum hangat. Potret lawas ini menggambarkan betapa hebatnya stasiun dalam menyimpan memori keluarga yang tak tergantikan.

Stasiun Pocin

Foto: Satrio Wibowo/IRPS (1989) 

 
 
Menikmati kesepian Stasiun UI dan Pondok Cina
1

 

Saat sedang menunggu bikun (bis kuning) sehabis pulang kuliah di seberang Stasiun UI, aku iseng mengambil foto ini untuk menyimpan momennya. Saat itu pula aku baru menyadari kalau ada jam dan tanggal digital di depan Stasiun UI selama hampir sembilan bulan kuliah di UI.

Foto & Cerita: Aldy

 

 

 

2

 

Langkah saya keluar dari Stasiun UI yang lengang, ditemani sunyi malam dan hembusan angin dengan nuansa libur semester. Tidak ada keramaian mahasiswa seperti biasa, hanya lampu-lampu temaram dan deru kereta yang sudah berlalu. 

Foto & Cerita: M. Jidan

 

 

3

 

Saat itu aku baru pulang dari IPB University menaiki kereta Bogor lalu turun di Stasiun Pondok Cina. Sesampainya di Stasiun Pondok Cina, ternyata langit sedang bersedih hingga membasahi stasiun yang membuat aku terjebak dan harus menunggu kesedihannya mereda. 

Foto & Cerita: Aldy

 

 

 

4

 

Saya bersama seorang sahabat hendak berangkat salat Idul Adha di Masjid Istiqlal. Udara masih dingin, angin cukup kencang, dan suasana Stasiun UI terasa begitu lengang. Kami memulai hari raya dengan perjalanan sederhana, tetapi penuh harapan.  

Foto & Cerita: M. Jidan

 

 

 

Momen Berolahraga di Kampus UI 
1

Foto: Suara Mahasiswa UI

 

Anak-anak di Stasiun Pondok Cina 
1

Foto: Satrio Wibowo/IRPS (1989) 

 

Penumpang KRL Stasiun Pondok Cina 
1

Foto: Subekti/Tempo (2010)

 

Kenangan yang Tertinggal di Stasiun 

Ini klise, aku jatuh cinta di Stasiun Pondok Cina. Aku sudah saling mengenal dengan si dia sejak lama, tapi kami bertemu kembali di Pondok Cina. Dari sana, pertemuan kami terus berlanjut. Kami selalu menjadikan Stasiun Pondok Cina sebagai tempat pertemuan kami karena kami sama-sama naik kereta untuk kuliah.  

Ajakan pulang bersama makin lama berubah menjadi makan bareng, jalan bareng, dan lainnya. Beberapa kali kami hunting street food sekitar Pondok Cina sebagai kegiatan kencan. 

Ketika hubungan kami selesai, rasanya aku hampir tidak sanggup naik-turun di Stasiun Pondok Cina dan UI. Bagaimana bisa aku melupakannya kalau jalan yang kulalui setiap hari adalah bagian dari dirinya? Tapi aku juga tidak pernah punya pilihan lain sebagai jalan pulang. 

Sekarang, aku dan dia sudah melanjutkan kehidupan kami masing-masing. Aku sudah lama berdamai dengan tempat ini. Namun, sebagai bagian dari kisah "Buku, Pesta, dan Cinta" ku, tempat ini mengajarkan banyak hal. 

 

 

Memori di Stasiun UI 
oleh Mumtaz Nazilla

Bagiku, Stasiun UI bukanlah hanya sebuah tempat. Lebih dari itu, Stasiun UI menyimpan ratusan memori yang sudah pernah terjadi dan akan bertambah hingga jutaan memori yang semoga baik nantinya. 

Raga ini sudah banyak berteman dengan stasiun sedari kecil, sebuah tempat yang menjadi perantara atas perjalanan seseorang. Menurutku tak ada yang spesial mengenai sebuah ‘stasiun’, demikian yang lain menganggapnya seperti itu.  

Namun, awal tahun ini kucoba untuk mengunjungi sebuah stasiun yang tak pernah kusapa sebelumnya. Yang katanya ribuan bahkan jutaan orang berharap kepada-Nya agar stasiun ini menjadi saksi bisu atas perjalanan hidupnya ke depan.  

Benar kata orang, sepertinya stasiun ini mempunyai daya pikatnya tersendiri. Bergetar. Berharap. Berpasrah. Itulah yang kurasakan pertama kali saat kereta yang membawa raga ini tiba di stasiun tersebut. Kunjungan pertama itu aku lakukan saat menjadi siswa akhir kelas 12 SMA, sekaligus menjadi kunjungan yang penuh doa: semoga berakhir di sini, semoga kembali berlabuh di sini. 

Hari itu tiba, takdir membawaku kembali pada stasiun indah ini. Langkah itu berbeda dibandingkan langkah pertama dahulu. Langkah bangga, langkah terharu, langkah semangat mengalir di setiap pijakannya. Doa itu berubah menjadi lebih baik lagi, semoga stasiun ini hanya menjadi kenangan baik yang selalu kukenang di perjalanan hidupku selanjutnya.

 

 

Segala Asa dan Rasa di Sini 
oleh Henny Tri Kurniawati
Aku memang menyukai perjalanan 
Di sana aku bisa mengingat 
Bahwa ada rasa yang pernah terucap 
Ada rindu yang terasa penuh di jiwa 
Suara derunya rel dan besi baja serta
Tanda bel tiba di stasiun jadi memori terbaikku

Dulu di sini adalah tempat aku selalu memanjatkan asa
Merangkai segala kekuatan diri untuk menghadapi berat
dan sulitnya perjalanan perkuliahan waktu itu.  

Duduk di sini dan melihat tulisan Stasiun UI 
Pikiranku langsung tertuju di masa itu 
Masa-masa berat yang harus kutempuh 
Masa-masa kecemasan yang harus aku lalui 
Bersegera berlari untuk mengejar materi di kelas 
Takut akan ketertinggalan 
Takut akan kegagalan atas pencapaian 

 

 

Tak terhitung air mata yang pernah jatuh di sana
Untuk sekedar melepaskan lelah dan penat yang ada 
Melepaskan segala rasa dan asa yang dirasa
 
Sejurus kemudian 
Rasanya kini berbeda 
Setelah segala memori yang terungkap 
Ada kebanggaan rasanya  
Bisa melewati semua perjuangan itu 
Aral melintang bisa terlewati 
Air mata yang dulu pernah jatuh di sana 
Berganti dengan sebuah kebanggaan yang tiada terkira 
Tidak percaya rasanya pernah memakai jas kuning itu 
Tak percaya aku dari sebuah tempat yang jauh di sana  
Bisa melanjutkan pendidikan di tempat 
Yang menjadi cita cita hampir sebagian jiwa 

Terima kasih Tuhan 
Stasiun ini menjadi jembatan perjalanan panjangku
Menjadikanku alumni terbaik di kampus UI. 
 
Aksi Tolak Obama di Stasiun UI
obama 2
Obama
obama 3

Alih-alih dengan karangan bunga, Mahasiswa UI justru menyambut kedatangan Presiden Amerika, Obama ke Universitas Indonesia dengan demonstrasi penolakan di depan Stasiun UI. Demonstrasi dilakukan karena mahasiswa menganggap hubungan diplomatik antar Amerika-Indonesia tidak menguntungkan rakyat. Mereka berharap melalui aksi ini, suara mereka bisa terdengar dan direalisasikan.

Foto: Front Aksi Mahasiswa UI (2010)

 

 

Stasiun UI dalam Sentuhan Cahaya Sore 
oleh Aliya Rahma Khairani

Sebenarnya nggak ada cerita yang 'wah' di balik foto ini. Foto ini saya ambil di tanggal 1 agustus yang juga merupakan bulan kelahiran saya. Hari itu saya memang lagi gak bersemangat, mood saya lagi buruk, dan rasanya capek sekali. Tapi begitu melihat matahari sore memancarkan sinar ke arah tulisan Stasiun Universitas Indonesia, saya merasa harus mengabadikan itu.

Akhirnya saya foto dan setelah melihat foto itu entah kenapa saya merasa senang. Adanya bendera merah putih di tulisan Stasiun Universitas Indonesia, membuat saya merasa disambut di hari pertama bulan kelahiran saya dan seolah-olah 'dirayakan' bersamaan dengan hari kemerdekaan Indonesia sebab saya lahir di tanggal 17 Agustus.

 

 

121

 

 

1

 

 

Kereta di Stasiun UI oleh Putu Adriel

Foto ini diambil saat aku mengikuti lomba Geografi di UI. Aku seorang railfans dari Surabaya senang sekali ketika tahu di UI ada dua stasiun kereta api. Setelah lomba selesai, aku pergi ke kedua stasiun untuk hunting foto kereta dan menjadikannya kenang-kenangan selama di UI. Empat tahun kemudian, aku berhasil menjadi mahasiswa UI dan bisa kembali hunting foto kereta lainnya

 

 

a
Kereta yang Diam Menunggu 

Kereta itu terdiam di peron, menunggu penumpang untuk membersamai lajunya. Bekas hujan meninggalkan jejak di peron, tidak ingin dilupakan begitu saja. Kereta itu tidak sabar untuk melanjutkan perjalanannya, membawa penumpang dengan sejuta kenangan di stasiun ke tujuannya masing-masing. | Foto: Bayu Setyawan (2013) 

aa
KRL Ekspres Pakuan di Stasiun UI 

Foto ini diambil tahun 2007 di Stasiun Universitas Indonesia peron arah Bogor ketika masa jayanya KRL Ekspres Pakuan Relasi Jakarta Kota-Tebet-Universitas Indonesia-Pondok Cina-Bogor dengan tarif kisaran Rp 11.000. | Foto: Romika Junaidi (2007) 

 
Suasana di Dalam Gerrbong Kereta yang Melintasi Stasiun UI
q

Di antara gerbong kereta api yang lengang, terlihat papan nama Stasiun Universitas Indonesia. Kereta tersebut terlihat sepi, hanya dipenuhi mereka yang berkegiatan di luar jam sibuk. Sebagian membiarkan diri tenggelam dalam layar gawai, sebagian lain memeluk tas selayaknya memeluk waktu yang berjalan perlahan. | Foto: Eko Siswono Toyudho/Tempo (26/05/2013)