Tiga Pidato dalam Dies Natalis Ketiga UI (1953)

Dies Natalis sendiri merupakan hari ulang tahun perguruan tinggi. Frasa ini berasal dari bahasa Latin yang bermakna hari kelahiran. Perguruan tinggi, termasuk universitas, biasanya merayakan Dies Natalisnya melalui acara. Di dalamnya, terdapat berbagai kegiatan, termasuk pembacaan pidato oleh rektor dan para tamu undangan.
Dies Natalis Ketiga UI
Tahun 1953, Universitas Indonesia merayakan Dies Natalis ketiganya di kampus UI Bandung—sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung. Salah satu kegiatannya adalah penyampaian pidato oleh Presiden UI—sekarang disebut Rektor—dan tamu kehormatan. Terdapat tiga tokoh yang berpidato dalam perayaan tersebut, yakni Supomo selaku Presiden UI, Sumitro Djojohadikusumo selaku Menteri Keuangan RI, dan Sukarno selaku Presiden RI. Ketiga naskah pidato ini terangkum dalam buku Tiga Pidato pada Perayaan Dies Natalis Ketiga UI 1953 yang merupakan salah satu koleksi Kantor Arsip Universitas Indonesia.

Foto: Arsip Universitas Indonesia
Pidato Mr. Supomo
Pidato pertama disampaikan oleh Mr. Supomo dengan judul “Pidato Presiden Universitet Indonesia pada Perajaan Dies Natalis Universitet pada Tanggal 16 Pebruari 1953 di Bandung”. Dalam pidatonya, Supomo membahas tentang kondisi UI di tahun ketiga yang meliputi struktur kampus, kondisi fakultas dan jurusan, hasil perkuliahan dari tiap fakultas, kerjasama dengan pihak luar negeri, dan pendidikan rohani.
Pada bahasan mengenai struktur kampus, Supomo menyampaikan rasio jumlah pengajar lokal dan asing. Jumlah guru besar, lektor, asisten pengajar, hingga dosen, didominasi oleh pengajar asing. Dari total 548 dosen di UI saat itu, 56.8% (311 orang) merupakan pengajar asing dan 43.2% (237 orang) adalah pengajar lokal. Hal itu menggambarkan kondisi UI yang masih bergantung oleh pengajar asing setelah tiga tahun berdiri.
Selanjutnya, Supomo membahas tentang kondisi fakultas dan jurusan di UI. Bahasan ini meliputi jumlah dan kebutuhan pengajar, kebutuhan gedung dan ruangan, hingga pengadaan dan penyesuaian untuk gelar sarjana, kelembagaan, dan status pengajar. Salah satunya adalah penambahan tujuh jurusan oleh Fakultas Sastra—sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB)—di tahun 1952. Ia menyambung pidatonya dengan penjelasan kegiatan di tiap fakultas, seperti Fakultas Ilmu Alam dan Ilmu Pasti (FIPIA)—sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)—yang mengadakan penelitian di Bosschalaboratorium dan Bosscha Sterrencwacht, Lembang, Bandung.

Foto: Wikipedia
Supomo lalu menjabarkan hasil kegiatan perkuliahan fakultas, termasuk rincian persentase jumlah mahasiswa yang lulus, mahasiswa yang ikut dan tidak ikut ujian, serta faktor-faktor pengaruhnya. Dari data yang tertera, ia menyimpulkan bahwa hasil ujian di semua fakultas pada tingkatan di atas tingkat I adalah baik, meski jumlah kelulusan di fakultas-fakultas sains masih di bawah 50%. Ada pun faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan dan halangan untuk mengikuti ujian adalah situasi mahasiswa yang belum ideal, seperti kurangnya pembelajaran di SMA, hambatan bahasa, hingga kondisi hidupnya.
Setelahnya, Supomo menyebut kerjasama yang UI lakukan dengan pihak-pihak luar negeri, termasuk universitas—seperti University of California dan Yale University—dan lembaga swasta. Kerjasama ini meliputi pengadaan fasilitas kampus dan pertukaran pelajar. Pidatonya ditutup dengan penekanan atas pentingnya pendidikan rohani agar mahasiswa menjadi individu yang budiman dalam membangun bangsa.
Pidato Prof. Sumitro Djojohadikusumo

Foto: Arsip Universitas Indonesia
Pidato kedua disampaikan oleh Sumitro Djojohadikusumo dengan judul “Makro-ekonomi dan Kebidjaksanaan Negara untuk Daerah-Daerah yang Kurang Bertumbuh dalam Susunan Ekonomi”. Sumitro memokuskan pidatonya pada pembahasan kebijakan makroekonomi Indonesia di daerah-daerah tertinggal dengan analisis menggunakan teori ekonomi Keynes dan post-Keynesian. Teori ekonomi Keynes sendiri menekankan peran pemerintah dalam mengatur perekonomian negara dan post-Keynesian adalah aliran yang berkembang setelahnya dengan penekanan pada ketidakpastian ekonomi, peran sentral uang, dan pentingnya permintaan agregat untuk pendapatan dan jumlah tenaga kerja.
Dari hasil analisisnya, Sumitro menyimpulkan bahwa fluktuasi pada kondisi ekonomi modern wajar terjadi. Analisisnya juga memperlihatkan masalah-masalah dalam kebijakan ekonomi buatan pemerintah. Kemudian, ia menjelaskan upaya penerapan hasil analisisnya dilihat dari tiga bagian: (1) faktor yang berkaitan dengan struktur ekonomi, (2) kuasa ekonomi masyarakat, (3) pengaruh institusi sosial. Peran pemerintah juga menjadi aspek penting untuk memastikan kestabilan keuangan negara, terutama dalam penyusunan kebijakan ekonomi.

Foto: Arsip Universitas Indonesia
Pidato Periseden Ir. Sukarno
Pidato terakhir berjudul “Pidato P.J.M Presiden Republik Indonesia pada Perajaan Dies Natalis Universitet Indonesia III” yang dibawakan oleh Sukarno secara impromptu (pidato tanpa persiapan & naskah). Berbeda dengan dua sebelumnya, pidato Sukarno berfokus pada motivasi untuk para mahasiswa UI. Ia membukanya dengan perbedaan perayaan Dies Natalis Ketiga UI dengan almamaternya, Technische Hogeschool, 30 tahun sebelumnya di tempat yang sama.
Sukarno melanjutkan pidatonya dengan penekanan akan pentingnya ilmu pengetahuan, khususnya untuk ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan. Baginya, ilmu sains adalah ilmu yang memenuhi kriteria tersebut di abad ke-20. Ia lalu menutupnya dengan penekanan terhadap perlunya pendidikan rohani—seperti yang disampaikan Supomo—dan motivasi agar mahasiswa menjadi individu yang dapat memberi sumbangsih pada bangsa ke depannya.
Melihat isi dari naskah pidato Dies Natalis Ketiga UI ini, kita dapat melihat kondisi UI di tahun ketiga. Terlihat UI masih memiliki permasalah dalam kekurangan tenaga pengajar lokal, pengembangan fasilitas kampus, dan jumlah persentase lulusan yang sedikit . Selain itu kita dapat melihat sejak dulu terdapat tradisi pidato ilmiah yang disampaikan oleh guru besar ekonomi UI sekaligus Menteri Keuangan RI, Prof. Sumitro. Presiden Sukarno juga turut ikut merayakan Dies Natalis universitas yang menyandang nama bangsa ini. Sejak dulu perayaan Dies Natalis bukan hanya sekedar perayaan biasa, tapi juga menjadi ajang evaluasi universitas serta pemaparan ilmiah mengenai permasalahan bangsa.