Prof. Soemantri Brodjonegoro: Rektor Termuda UI

Poster Memori UI 14 tentang Rektor UI Prof. Soemantri Brodjonegoro

Soemantri Brodjonegoro adalah rektor termuda Universitas Indonesia periode 1964—1973 yang kala itu diangkat ketika usianya 38 tahun. Masa kepemimpinannya menarik dibahas karena pada masa yang sama terjadi gejolak politik di Indonesia. Bagaimana kepemimpinannya pada periode tersebut?

 

Soemantri ketika sedang bermain bowling | Foto: Buku Soemantri Brodjonegoro: Teguh di Jalan Lurus
Soemantri saat bermain boling
Foto: Buku "Soemantri Brodjonegoro: Teguh di Jalan Lurus"
Keluarga & Pendidikan

Raden Mas Soemantri Brodjonegoro lahir pada tanggal 3 Juni 1926 di Semarang. Soemantri merupakan anak ke-4 dari 11 bersaudara pasangan Raden Tumenggung Soetedjo Brodjonegro dan Sarsinah. Ayahnya merupakan Kepala Sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS) sekaligus anggota Partai Indonesia Raya (Parindra). Latar belakang keluarganya memungkinkan Soemantri untuk menempuh pendidikan hingga bangku perguruan tinggi.

Pendidikannya dimulai dari HIS Solo ketika umurnya tujuh tahun. Ia lalu melanjutkan pendidikan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Semarang. Selama bersekolah di Semarang, Soemantri tinggal di rumah salah seorang kenalan ayahnya. Selama di HBS, Soemantri menunjukkan ketertarikan serta kepandaiannya dalam bidang sains seperti fisika ataupun matematika. Ia juga tidak pernah tinggal kelas dan selalu memperoleh nilai yang bagus. Akan tetapi, bakatnya tidak dapat langsung dikembangkan karena sekolahnya dibubarkan ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia.

Soemantri memutuskan untuk kembali ke Solo. Ia baru kembali melanjutkan sekolahnya pada tahun 1943 di Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Yogyakarta dan juga tinggal sendiri seperti di Semarang. Soemantri menamatkan sekolah menengahnya pada tahun 1945 dan melanjutkan pendidikan di Jurusan Teknik Kimia Sekolah Tinggi Teknik (STT) atau Technische Hoogeschool (THS) Bandung—yang saat itu dipindahkan ke Yogyakarta pada bulan November 1945. Setelah setahun berkuliah, Soemantri menemui hambatan. Jurusan yang diambilnya belum menyediakan perkuliahan untuk tingkat ke-2 karena kekurangan tenaga pengajar. Kendala itu membuat Soemantri terpaksa berhenti kuliah di tahun 1947.

 

 

Bandoeng Technische Hoogeschool | Foto: KITLV
Bandoeng Technische Hoogeschool
​​​​
Foto: KITLV
 
Revolusi Nasional

Selama masa revolusi nasional, Soemantri ikut dalam perjuangan bersenjata dari tahun 1947 hingga 1949 di Yogyakarta. Ia bergabung dalam Corps Mahasiswa (CM) di bawah Markas Besar Tentara. Pada bulan Juni 1948, kesatuan tentara pelajar disatukan ke dalam Tentara Pelajar yang kemudian dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) di bawah Brigade XVII (Susanto, 1985).

Setelah dilebur dalam Tentara Nasional Indonesia, semua anggota Brigade XVII secara resmi memperoleh pangkat militer. Soemantri sendiri memperoleh pangkat Letnan I (Yunus, 2007, hlm. 19). Pada pertengahan bulan September 1948, Letnan Soemantri dan satuannya mendapat tugas ke Blitar. Namun, kereta mereka dicegat oleh simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun saat perjalanan pulang ke Yogyakarta. Soemantri kemudian dibawa dan dimasukkan ke dalam penjara (Yunus, 2007, hlm. 20—21), lalu bebas setelah Pasukan Siliwangi berhasil menguasai Madiun.

Dalam perang gerilya menghadapi Agresi Militer II, Soemantri kerap bertemu dengan A.H. Nasution yang saat itu bertugas sebagai Panglima Komando Jawa—komando tersebut berbasis di lereng Gunung Merapi. Ketika Belanda meninggalkan Yogyakarta, Nasution menunjuk Soemantri sebagai ajudannya. Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia pada 27 Desember 1949, Soemantri memilih untuk tidak kembali ke Angkatan Darat dan melanjutkan kuliahnya.

Pada awal tahun 1950, Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar (KUDP) menyediakan beasiswa belajar ke luar negeri bagi tentara pelajar yang berjuang dalam perang kemerdekaan (Markas Besar TNI, 2000). Soemantri berhasil mendapatkan beasiswa dari Angkatan Darat untuk melanjutkan studi ke Belanda setelah mengikuti ujian seleksi. Ia berangkat ke Belanda pada November 1950 bersama dengan tujuh orang lainnya.

Pendidikan Luar Negeri & PPI
Lambang Technische Universiteit Delft (dulunya bernama Technische Hoogeschool Delft) | Gambar: Wikipedia
Lambang Technische Universiteit Delft​​ (​​​​​Dahulu bernama Technische Hoogeschool Delft)
Gambar: Wikipedia 

Soemantri memulai kuliah di Jurusan Teknik Kimia, Technische Hoogeschool Delft, Belanda pada tahun 1951. Soemantri kemudian bergabung dengan Roekoen Peladjar Indonesia (ROEPI) yang merupakan wadah informal bagi mahasiswa Indonesia di Belanda sejak sebelum Perang Dunia. Pada tahun yang sama, Soemantri terlibat dalam kongres di Amsterdam yang mempersatukan berbagai kelompok pelajar Indonesia di Belanda. Kongres tersebut melahirkan Perhimpunan Peladjar Indonesia (PPI) dengan Soemantri sebagai ketuanya (Yunus, 2007, hlm. 34—35). PPI kemudian menjadi organisasi resmi yang menghubungkan para pelajar Indonesia di Belanda. Sebagai ketua, Soemantri aktif mengadakan pertemuan dan pertukaran informasi dengan pengurus PPI di berbagai kota.

Tidak hanya sibuk dengan PPI, Soemantri juga menyalurkan minat olahraganya melalui kegiatan atletik dan sepak bola. Keberhasilan akademis Soemantri juga gemilang. Ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar Sarjana Muda serta meraih gelar Insinyur di bidang Kimia Teknik pada tahun 1956. Meski profesornya menyarankan agar melanjutkan pendidikan doktoral, Soemantri memutuskan kembali ke Indonesia karena ketentuan Angkatan Darat. Namun, ia memperoleh izin untuk melanjutkan studi doktoralnya di Belanda dan melanjutkan risetnya. Dua tahun kemudian, Soemantri menyelesaikan disertasinya dengan judul "Aspects on Gas Chromatography and Selective Hydrotreating" tepat pada tanggal 23 April 1958.

 

Pengumuman terbentuknya PPI Belanda | Sumber: Kompasiana/Suryadi diambil dari Chattulistiwa, De Evenaar, 5e Jaargang, No. 7, Mei/Juni 1952: 3
Pengumuman terbentuknya PPI Belanda | Sumber: Kompasiana/Suryadi diambil dari Chattulistiwa, De Evenaar, 5e Jaargang, No. 7, Mei/Juni 1952: 3 

 

Karir Soemantri Brodjonegoro
Aula Barat ITB (1997) | Foto: Wikipedia/Anton Leddin
Aula Barat ITB (1997)
​​​Foto: Wikipedia/Anton Leddin 

Setelah kembali ke tanah air, Soemantri sempat menjadi Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) dengan pangkat Kapten. Namun, Soemantri diminta untuk menjadi pengajar di Fakultas Teknik UI Bandung pada September 1958. Ia juga dikukuhkan menjadi Guru Besar di bidang Teknik Perminyakan, Fakultas Teknik UI Bandung pada tahun yang sama (Somadikarta et al., 1999, hlm. 165—166). Selain menjadi pengajar, Soemantri juga diangkat menjadi Penasihat Ahli Permina (Perusahaan Minyak Nasional) karena keahliannya dalam bidang gas.

Di sela-sela kesibukannya, Soemantri juga ikut membantu merintis pendirian Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sebelumnya masih tergabung dalam UI. Soemantri kemudian diangkat menjadi Sekretaris Senat sekaligus Sekretaris Departemen Ilmu Kimia & Ilmu Hayati ketika Fakultas Teknik UI Bandung resmi menjadi ITB.

Pada tahun 1961, Soemantri diangkat sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik dan menjabat sebagai Sekretaris Departemen dengan struktur organisasi baru. Setahun kemudian, ITB diminta membantu Majelis Ilmu Pengetahuan Nasional Indonesia (MIPI) yang telah didirikan sejak tahun 1956. Soemantri menjadi anggota MIPI sebagai Deputi Bidang Teknologi yang bertanggung jawab atas riset di bidang teknologi.

Pada masa awal tugasnya di MIPI, Soemantri diangkat menjadi Direktur Lembaga Kimia Nasional dan Direktur Pusat Riset Nasional (PRN). Jabatan tersebut dipegangnya hingga tahun 1969. Kiprahnya di MIPI membuka jalan baginya berhubungan dengan lembaga-lembaga penelitian internasional, terlihat dari keberhasilannya menjadi Penasihat Ilmu Pengetahuan PBB dan anggota kehormatan Academy Science of Romania pada tahun 1964 (Yunus, 2007).

Karier Soemantri semakin berkembang hingga diangkat menjadi Ketua Lembaga Riset Tentang Teknologi, Kementerian Riset Nasional. Ia juga berperan penting dalam mempersiapkan kegiatan riset untuk menunjang pembangunan Indonesia. Tahun 1963, ia diangkat menjadi Ketua Dewan Ahli Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) dan bertanggung jawab dalam memberikan masukan serta pemikiran strategis untuk perkembangan teknologi. Melalui perannya ini, Soemantri berhasil mengembangkan teknologi di Indonesia dan memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas ilmiah global.

 

Soemantri sebagai Rektor UI periode 1964—1973 (WM)
Prof. Soemantri Brodjonegoro sebagai Rektor UI (1964—1973)
Foto: Arsip Universitas Indonesia
Soemantri Brodjonegoro sebagai Rektor UI

Pada Agustus 1964, Soemantri diangkat menjadi Rektor UI saat usianya genap 38 tahun yang menjadikannya rektor termuda dalam sejarah UI. Ia juga merangkap sebagai Dekan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA) (1964-1968) dan Dekan Fakultas Sastra (1964-1965) (Yunus, 2007). Sebagai Rektor, ia didampingi oleh Prof. Slamet Iman Santoso sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik, Drs. Marsudi Djojodipuro MA sebagai Pembantu Rektor II, dan Drs. Nugroho Notosusanto sebagai Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni.

Di bawah kepemimpinannya, berbagai inisiatif penting dijalankan, seperti pendirian Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)—yang sempat tertunda—pada tahun 1965, penyelesaian masalah kekurangan pengajar di Fakultas Teknik UI (FTUI), dan pengadaan fasilitas ruang perkuliahan seperti laboratorium. Untuk mengatasi keterbatasan ruang perkuliahan, Soemantri dan pimpinan UI lainnya memulai rencana pembangunan kampus baru UI di Ciputat, yang mana upacara peletakkan batu pertamanya dilaksanakan pada 28 September 1965—bertepatan dengan hari kelulusan sarjana dan penerimaan mahasiswa baru. Akan tetapi, pembangunan ini tidak berlanjut dan kompleks tersebut dijadikan perumahan dosen UI (Somadikarta et al., 1999, hlm. 91).

Di sisi lain, saat situasi politik negara bergejolak pada pertengahan dekade 60-an, Soemantri tetap teguh pada prinsip netralitas. Ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi, ia dan para Pembantu Rektor UI cepat bertindak untuk mengamankan kampus dan mencegah bentrokan antara CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). UI kala itu juga mendukung gerakan mahasiswa tanpa terlibat langsung dalam aksi politik.

 

 

Demonstrasi Mahasiswa UI (1966) | Foto: Arsip Universitas Indonesia
Demonstrasi Mahasiswa UI (1966)
Foto: Arsip Universitas Indonesia
Suasana persiapan apel Tritura di halaman Fakultas Kedokteran UI, Salemba (1966)
Suasana persiapan apel Tritura di halaman Fakultas Kedokteran UI, Salemba (1966)
Foto: Buku "Tahun Emas Universitas Indonesia" Jilid III

 

 

Ketika aksi mahasiswa memuncak, Bung Karno memerintahkan Soemantri untuk menutup UI. Namun, ia menolak dengan alasan penutupan kampus akan menyulitkan pengawasan terhadap mahasiswa. Pemerintah akhirnya menutup UI, tetapi aksi-aksi mahasiswa UI terus berlanjut hingga PKI dibubarkan. Setelah situasi mereda, UI dibuka kembali pada 4 April 1966. Mahasiswa kembali berkuliah meski kondisi keuangan kampus terkendala. Agar dapat menutupi kekurangan, mahasiswa dikenakan uang kuliah (SPP) untuk pertama kalinya, meski dalam jumlah kecil (Yunus, 2007). 

Semasa menjabat, Soemantri mengadakan Wajib Latihan Mahasiswa (WALAWA) pada tahun 1967. Program ini bertujuan agar mahasiswa, khususnya anggota Resimen Mahasiswa, tetap mendapatkan pelatihan militer dan dapat menjadi perwira cadangan tanpa berada di bawah komando tentara. Awalnya, mahasiswa menolak keras karena menganggapnya sebagai bentuk "militerisasi" kampus. Meskipun begitu, WALAWA tetap dilaksanakan dengan harapan dapat membentuk kedisiplinan dan rasa tanggung jawab. Namun, ketidakpuasan dan protes terus datang dari mahasiswa hingga akhirnya WALAWA dihentikan pada tahun 1973.

Walawa di Upacara Wisuda (1968) | Foto: Arsip Universitas Indonesia
Walawa di Upacara Wisuda (1968)
Foto: Arsip Universitas Indonesia
Upacara WALAWA di halaman FK UI Salemba
Upacara WALAWA di halaman FK UI Salemba
Foto: Buku "Soemantri Brodjonegoro: Teguh di Jalan Lurus"

 

 

Karir di Pemerintahan & Akhir Hayat
 Soemantri sebagai Menteri Pertambangan dalam upacara dimulai beroperasinya PT. Freeport Indonesia Corporation (1972)
Soemantri sebagai Menteri Pertambangan dalam upacara peresmian PT. Freeport Indonesia Corporation (1972)
Foto: Buku "Soemantri Brodjonegoro: Teguh di Jalan Lurus"

 

Pangeran Albert, adik Raja Belgia Leopold II, menyematkan Groote Kruise kepada Soemantri (1970)
Pangeran Albert, adik Raja Belgia Leopold II, menyematkan Groote Kruise kepada Soemantri (1970) 
Foto: Buku "Soemantri Brodjonegoro: Teguh di Jalan Lurus"

Di tengah kesibukan sebagai rektor, Soemantri juga ditugaskan sebagai Menteri Pertambangan dalam Kabinet Ampera yang Disempurnakan (Kabinet Ampera II Periode 11 Oktober 1967—6 Juni 1968) dan Kabinet Pembangunan I (Periode 6 Juni 1968—28 Maret 1973). Selama menjabat, ia fokus menata ulang Departemen Pertambangan dengan merestrukturisasi perusahaan-perusahaan negara di sektor pertambangan. Di bawah kepemimpinannya, berbagai kontrak penanaman modal asing untuk pertambangan berhasil diwujudkan. 

Soemantri kemudian diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) dalam Kabinet Pembangunan II (Periode 28 Maret 1973—29 Maret 1978) pada 28 Maret 1973. Akan tetapi, tak lama setelah pelantikannya, ia jatuh sakit hingga harus dirawat. Pada 18 Desember 1973, Soemantri tutup usia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Posisinya sebagai Rektor UI kemudian digantikan oleh Prof. Mahar Mardjono.

Sepanjang hidupnya, Soemantri memperoleh beragam penghargaan dalam negeri dan luar negeri. Penghargaan yang didapat di antaranya adalah The Lakan of the Order of Sikatuna dari Filipina (1968), Grand Cross of the Order of Leopold II dari Belgia (1970), Panglima Setia Mahkota dari Malaysia (1970), Bintang Mahaputera Adipradana Tingkat II (1973), dan Knight Grand Cross of the Order of Orange-Nassau dari Belanda (1973). Nama besar Soemantri kemudian diabadikan di berbagai tempat, seperti Gunung Soemantri di Pegunungan Jayawijaya, Stadion Soemantri Brodjonegro di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, serta nama jalan di Kampus UI Depok.

 

Simak juga kisah lengkapnya melalui video di bawah!

 

Referensi 

Asnan, G. (2018). Biografi Tujuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.  

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. (2000). Sejarah TNI: Jilid II (1950—1959). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI. 

Somadikarta, S., Wahyuning, Tri., Irsyam, M., Oemarjati S, Boen. (1999). Tahun Emas Universitas Indonesia. Depok: Universitas Indonesia. 

Sumardi, S., et al. (1984). Menteri-menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sejak Tahun 1966. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 

Susanto, S. (1985). Perjuangan tentara pelajar dalam perang kemerdekaan Indonesia.  Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.  

Universitas Indonesia. (1990). 40 Tahun UI: Menoleh ke Belakang sambil Melangkah Maju. Jakarta: Universitas Indonesia. 

Yunus, N. (2007). Soemantri Brodjonegoro: Teguh di Jalan Lurus. Jakarta: Lemabaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

 

Kontributor: Fathia Nabila Q.
Co Editor: Najelaa Syifa H.
Editor: Ahmad Zainudin
a.zainudin