Gedung FK UI Salemba: Cagar Budaya di Tengah Kota

Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) di Jalan Salemba Raya No. 4-6, Jakarta Pusat, memiliki sejarah panjang tentang pendidikan dokter di Indonesia. Bangunan bersejarah itu kini ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya yang dilindungi berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993. Keberadaan gedung ini berawal dari hadirnya pendidikan dokter di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19. Mari kita telusuri jejaknya bersama.

Foto: Arsip Universitas Indonesia

Foto: iMuseum IMERI
Pendirian Sekolah Kedokteran
Usulan pendirian sekolah dokter dimulai ketika berbagai penyakit mewabah di Karisidenan Banyumas, tahun 1847. Pada masa itu, tidak semua kalangan dapat mengakses layanan kesehatan, hanya masyarakat kalangan atas, militer, serta para pegawai pemerintahan saja yang mendapatkannya. Akibatnya, penyakit-penyakit seperti cacar, malaria, dan pes banyak menelan korban jiwa.
Kondisi yang kian memburuk itu membuat Kepala Jawatan Kesehatan (Chef over den Geneeskundigen Dienst), Dr. Willem Bosch, mengusulkan agar tenaga bumiputra diperbantukan untuk menangani masalah tersebut. Bosch mengusulkan agar pemerintah mendidik pemuda suku Jawa di beberapa Rumah Sakit Militer di Pulau Jawa (Somadikarta et al., 1999, hlm. 27). Setelah melalui berbagai pertimbangan, pemerintah akhirnya mengabulkan usul tersebut melalui Keputusan Pemerintah (Gouvernementsbesluit) No. 22 tanggal 2 Januari 1849 yang menetapkan:
- sejumlah 30 pemuda suku Jawa akan dididik secara cuma-cuma di bidang kedokteran dengan mantri cacar (vaccinateur) sebagai tenaga pembantu di beberapa Rumah Sakit Militer; dan
- pendidikan kedokteran hanya diberikan untuk pemuda santun yang dapat membaca serta menulis bahasa Melayu dan Jawa, mempunyai bakal, dan bersedia bekerja untuk pemerintah sebagai mantri cacar setelah menyelesaikan pendidikan selama dua tahun.

Foto: KITLV

Foto: Museum Kebangkitan Nasional
Setelah keputusan tersebut keluar, sekolah pelatihan dokter pribumi dengan nama Onderwijs van Inlandsche eleves voor de Geneeskunde en Vaccine resmi didirikan di Rumah Sakit Militer di Weltevreden, Batavia, pada bulan Januari 1851 dengan Dr. P. Bleeker sebagai direktur utamanya (Somadikarta et al., 1999). Angkatan pertamanya terdiri dari 12 pemuda suku Jawa yang dinilai sangat baik dan cemerlang. Sejumlah mata pelajaran seperti Bahasa Belanda, Kimia Anorganik, Ilmu Alam, Zoologi, Anatomi, dan sebagainya disampaikan dalam bahasa Melayu. Lulusannya diberi gelar Dokter Djawa berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 10 tanggal 5 Juni 1853. Lembaga pendidikan ini kemudian lebih dikenal sebagai Dokter Djawa School.
Pembangunan Gedung Baru
Setelah itu, aktivitas pendidikan di lingkungan RS Militer Weltevreden dipindahkan karena dinilai mengganggu kenyamanan rumah sakit. Pada tahun 1899, Direktur Dokter Djawa School, Dr. H.F. Roll, mulai melaksanakan pembangunan gedung baru di samping rumah sakit militer. Pembangunan gedung ini sempat terhenti akibat hambatan finansial, tetapi berhasil selesai di bulan September 1901 berkat bantuan dana dari pengusaha di Deli. Pada 1 Maret 1902, gedung yang terletak di Hospitaalweg (sekarang Jl. Dr. Abdul Rachman Saleh) secara resmi digunakan untuk pendidikan kedokteran, dilengkapi asrama serta berbagai fasilitas lainnya.

Foto: KITLV
Para pelajar diwajibkan untuk tinggal di asrama di bawah pengawasan ketat para suppoost atau pengurus asrama. Gedung baru di Hospitaalweg tersebut dilengkapi dengan fasilitas olahraga, pendidikan, hingga kesenian yang memadai—laboratorium, perpustakaan, dan peralatan medisnya disamakan dengan fasilitas sekolah kedokteran di Eropa.
Selain pendirian gedung baru, pada bulan Mei 1898, Roll mengajukan usul ke pemerintah untuk melakukan reorganisasi Dokter Djawa School demi meningkatkan kualitas dan kuantitas tamatannya. Nama Dokter Djawa School kemudian diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Bumiputra. Mulai tahun 1902, kurikulum di STOVIA disesuaikan dengan school voor officieren van gezendedid di Utrecht dengan masa pendidikannya selama sembilan tahun. Lulusannya diberi gelar Inladsch Arts atau Dokter Bumiputra. Selanjutnya, nama Inlandsche Artsen pada STOVIA diubah menjadi Indische Artsen dan tamatannya diberi gelar Indisch Arts atau Dokter Hindia (Cahyanti, 2019).

Foto: KITLV

Foto: Wereldmuseum
Seiring berkembangnya zaman, gedung STOVIA dinilai tidak lagi layak untuk dijadikan tempat pendidikan dokter. Untuk memantapkan kualitas lulusan dalam hal praktik, pada akhir tahun 1919 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Rumah Sakit Pusat CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekenhuis, sekarang menjadi RSCM atau Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) yang digunakan sebagai rumah sakit pendidikan siswa STOVIA. Pada 26 Agustus 1916, peletakan batu tulis peresmian gedung baru STOVIA di Salembaweg (Jl. Salemba Raya No. 6) dilakukan oleh Gravin N. van Limburg Stirum-van Sminia. Empat tahun setelahnya, gedung baru STOVIA selesai dibangun dan kegiatan pendidikan mulai dilaksanakan di sana. Para pelajar STOVIA diberi kebebasan untuk tetap tinggal di asrama atau memilih untuk kos di rumah penduduk sekitar Salemba. Pada tahun 1926, gedung STOVIA di Hospitaalweg tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan maupun asrama. Pemerintah Hindia Belanda menggunakan gedung tersebut sebagai sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Pada tahun 1927, STOVIA menghapus tingkat pendidikan persiapannya. Siswa-siswa yang berada di tingkat tersebut dipindahkan ke sekolah setingkat Algemene Middelbaar School atau AMS (setara Sekolah Menengah Atas). Berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 4 tanggal 9 Agustus 1927 (Staatsbl. Ned. Indiie 1927 No. 396), Geneskundige Hoogeschool atau lebih dikenal dengan GHS (Sekolah Tinggi Kedokteran) dibuka di Batavia. Tamatan GHS diberi gelar Arts.
Di masa pendudukan Jepang, sekolah tinggi kedokteran sempat ditutup selama enam bulan. Atas inisiatif mahasiswa sekolah kedokteran dan beberapa dosen, akhirnya pada tanggal 29 April 1943, sekolah kedokteran bernama Djakarta Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Ketabiban Djakarta) dibuka. Akan tetapi, Djakarta Ika Daigaku tidak bertahan lama karena Pemerintah Kekaisaran Jepang menyerah pada sekutu di Perang Dunia II.
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya, Perguruan Tinggi Kedokteran di bawah Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia dibuka di Jl. Salemba Raya No. 6 pada bulan Oktober 1945. Tak lama, Pemerintah Pendudukan Belanda yang melakukan agresi militer juga membuka Geneeskundige Faculteit sebagai salah satu fakultas dari Nood-Universiteit—yang kemudian diubah namanya menjadi Faculteit der Geneeskunde dari Universiteit van Indonesie pada 12 Maret 1947.
Pada 2 Februari 1950, Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan Faculteit der Geneeskunde-Universiteit van Indonesie dilebur menjadi Fakulteit Kedokteran & Lembaga Pendidikan Djasmani Universiteit Indonesia/Balai Perguruan Tinggi Indonesia Serikat. Kemudian, namanya diubah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Gedung Fakultas Kedokteran (FK) UI yang memiliki gaya arsitektur Eropa ini masih digunakan sebagai tempat perkuliahan sampai sekarang. Pada tahun 2017, didirikan fasilitas gedung baru di lokasi yang sama, yakni The Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI). Gedung IMERI terdiri dari dua menara, yakni Menara Riset dan Menara Pendidikan. Di dalamnya juga terdapat museum bernama Museum IMERI yang berisi informasi mengenai sejarah pendidikan kedokteran di Indonesia dan berbagai fasilitas lainnya. Museum ini dapat diakses oleh masyarakat umum.

Foto: aktual.com

Foto: Dokumentasi Pribadi
Referensi:
Budaya Kita. Cagar Budaya Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Diakses melalui https://referensi.data.kemdikbud.go.id/budayakita/cagarbudaya/objek/KB004151.
Cahyanti, Hivaria. (2019). Perkembangan Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia 1902—1907. Jurnal Prodi Ilmu Sejarah, 4 (3).
Museum Kebangkitan Nasional. (28 Desember 2020). Dari Kwitang ke Salemba. Video YouTube diakses melalui https://www.youtube.com/watch?v=75FW78MoGMk&list=WL&index=25.
Somadikarta, S., Wahyuning, Tri., Irsyam, M., Oemarjati S, Boen. (1999). Tahun Emas Universitas Indonesia. Depok: Universitas Indonesia
Universitas Indonesia. (1990). 40 Tahun UI: Menoleh ke Belakang sambil Melangkah Maju. Jakarta: Universitas Indonesia.