Bedah Foto – Kereta Rel Diesel di Stasiun UI

Gambar 1 - KRD Suryakencana berhenti di Stasiun UI, 1987. (Foto: Arsip Universitas Indonesia)
A. Gambar Umum Foto
Foto di atas bukan sekadar foto biasa yang menunjukkan sebuah rangkaian kereta yang berhenti di Stasiun Universitas Indonesia (UI) beserta beberapa penumpang di peron ini sangat menarik dan menyimpan suatu kisah. Pertama, gambar ini diambil pada tahun 1987, tahun di mana kampus UI Depok baru saja diresmikan beserta Stasiun UI. Kedua, kereta yang ada di gambar merupakan armada Kereta Rel Diesel (KRD) seri MCW 302 terbaru milik Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA, kini PT KAI) yang baru didatangkan ke Indonesia dari Jepang pada tahun 1987. Ketiga, rangkaian KRD tersebut tampak sudah dapat melintasi jalur kereta api ganda segmen Pasar Minggu—Depok yang juga mulai dioperasikan pada tahun 1987. Melalui artikel ini, penulis akan menjabarkan fakta-fakta menarik mengenai kisah di balik foto tersebut.
B. Rangkaian Kereta Diesel di Stasiun UI

KRD seri MCW 302 dipesan oleh PJKA ke pabrik Nippon Sharyo, Jepang, pada tahun 1978. Dalam sejarahnya, KRD ini tergolong ke dalam seri MCW yang telah dipesan ke pabrik yang sama tahun 1976. Banyak KRD didatangkan PJKA sebagai bentuk peremajaan dan modernisasi perkeretaapian di wilayah Jabodetabek dan berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Selain memesan KRD seri MCW, pada waktu yang sama PJKA juga memesan armada Kereta Rel Listrik (KRL) dengan model yang hampir serupa ke Nippon Sharyo.

Pada gambar di atas, rangkaian KRD seri MCW 302 yang terdiri dari empat kereta tengah beroperasi sebagai KRD “Suryakencana” dengan relasi Jakarta Kota—Cianjur. Sesuai jadwal resmi, kereta ini berhenti di Stasiun UI untuk aktivitas naik dan turun penumpang. Meskipun tergolong sebagai Kereta Api Jarak Jauh (KAJJ) karena jarak tempuhnya, KRD tetap berhenti di setiap stasiun yang disinggahi di rute tersebut sehingga membuatnya terasa seperti kereta komuter biasa.
Dalam sehari, jadwal KRD Suryakencana sangat terbatas sehingga penumpang dari Jakarta yang ingin langsung menuju ke Cianjur tanpa harus terlebih dahulu transit di Bogor atau Sukabumi harus mengetahui jadwalnya. Meskipun demikian, KRD ini juga tetap menjadi pilihan para penumpang yang hanya ingin berpergian jarak dekat. KRD Suryakencana bukanlah sebuah layanan “baru”, melainkan versi upgrade dari layanan kereta “Langsam” yang menggunakan rangkaian kereta penumpang lawas dan ditarik oleh lokomotif diesel seri BB303.

Dibanding KRL, KRD merupakan jenis kereta yang lebih fleksibel karena dapat berjalan secara mandiri dan dalam formasi rangkaian apapun. Sebagai contoh, KRD Suryakencana pada gambar di atas tampil dengan empat kereta dalam satu rangkaian saja (formasi standar kereta komuter di area Jabodetabek pada masa itu). Namun, susunan formasi KRD ini terkadang bisa kurang atau lebih, tergantung pada kebutuhan, keputusan, dan ketersediaan armada kereta di depo KRD tersebut. Seperti di akhir masa operasionalnya, KRD Suryakencana hanya beroperasi dengan formasi tiga kereta saja dalam satu rangkaian akibat menipisnya jumlah armada seri MCW 302 yang bisa digunakan.
C. Stasiun UI dan Jalur Kereta Api Ganda
Pembangunan jalur kereta api ganda pada lintas Manggarai—Bogor berlangsung lama karena masalah finansial. Pembangunan ini terbagi menjadi dua segmen, yakni segmen Manggarai—Depok (1983 sampai 1992) dan segmen Depok—Bogor (1993 sampai 1996). Total waktu pembangunannya selama 13 tahun. Pada waktu pembangunan jalur ganda segmen Manggarai—Depok, rel dibangun dari arah Depok ke Jakarta, bukan dari Jakarta ke Depok. Saat rel baru telah sampai dan membentang hingga ke Stasiun Pasar Minggu di tahun 1987, proyek ini mengalami permasalahan finansial yang membuat pembangunannya terhenti.

sehingga hanya bisa dilewati oleh KRD saja
Rel baru Depok—Pasar Minggu ini pun kemudian “mati” karena belum sempat dipasang komponen Listrik Aliran Atas (LAA) sehingga KRL Jabodetabek tidak dapat melintasinya. Melihat hal ini, PJKA memutuskan untuk tetap mengoperasikan rel baru tersebut. Namun, khusus dilewati rangkaian KRD dan lokomotif diesel saja, salah satunya KRD Suryakencana. Pada saat memasuki petak Pasar Minggu—Depok, KRD akan selalu dioperasikan melalui rel baru, sedangkan KRL tetap berada pada rel lamanya yang dialiri oleh LAA. Pengoperasian rel baru ini menggunakan sistem contraflow.
Sebuah rangkaian kereta api berjalan di sebelah kanan pada jalur ganda. Namun, pada sistem contraflow yang dioperasikan PJKA di lintas Pasar Minggu—Depok ini membuat kereta diesel dapat bebas melaju melalui rel baru ke arah hulu ataupun hilir tanpa mengganggu perjalanan kereta listrik di rel lama, persis seperti yang tampak pada gambar. Hal ini menyebabkan momen di mana rangkaian KRL dan KRD melaju ke arah yang sama (balapan) atau dalam kereta api disebut “sepur samping”. Sistem contraflow pada lintas Pasar Minggu—Depok bertahan cukup lama, dari tahun 1987 hingga 1992. Sistem ini baru dihapus setelah seluruh pembangunan jalur ganda di segmen Manggarai—Depok telah rampung dan dialiri oleh listrik aliran atas di tahun 1992.

Pembangunan jalur kereta api ganda yang dilakukan PJKA pada segmen Manggarai—Depok membuat tampilan jalur ini sangat berbeda. Rel kereta api diperbaiki, peralatan diganti menjadi lebih modern, perlintasan sebidang dibenahi, emplasemen stasiun dirombak, hingga bangunan-bangunan stasiun dan rumah dinas pegawai peninggalan Staatsspoorwegen dibongkar habis. Dari sekian banyak hal, Stasiun UI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah jalur ini. Stasiun UI dibangun bersamaan dengan pembangunan jalur KA ganda segmen Manggarai—Depok sehingga sejak awal pengoperasiannya telah memiliki dua sisi peron untuk masing-masing rel kereta api.
Stasiun UI dibangun dengan desain yang sama dengan stasiun-stasiun kecil lainnya di lintas Manggarai—Depok, yaitu peron berukuran tinggi dengan model bangunan utama stasiun yang seluruhnya serupa. Dalam konteks transportasi dan fasilitas publik, Stasiun UI disebut sebagai “stasiun”. Namun, berdasarkan Reglemen (Perauturan) 19 Jilid I yang disusun oleh PJKA tahun 1953, suatu perhentian dibedakan menjadi dua, “stasiun” dan “halte”. Stasiun merupakan tempat di mana perhentian tersebut memiliki emplasemen rel, wesel, dan kendali persinyalan yang diatur oleh petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA).
Saat pertama kali dioperasikan tahun 1987, UI berstatus “halte” dan Pondok Cina berstatus “stasiun”. Hal ini dikarenakan Pondok Cina memiliki emplasemen dengan tiga buah rel, wesel, kendali persinyalan, dan PPKA, sedangkan UI tidak memiliki hal-hal tersebut. Namun, ketika pembangunan rel ganda segmen Manggarai—Depok selesai dibangun tahun 1992, Pondok Cina dan UI sama-sama turun status menjadi “halte” sehingga perhentian yang berstatus sebagai “stasiun” pada petak jalan Manggarai—Depok hanya tersisa empat saja, yaitu Manggarai, Pasar Minggu, Depok Baru, dan Depok. Pada tahun 1995, Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka, nama baru dari PJKA) melakukan penggantian sistem kendali persinyalan di jalur kereta api Manggarai—Bogor menjadi lebih modern. Perangkat persinyalan lama jenis mekanik (manual) produksi Siemens & Halske, Jerman, diganti menjadi perangkat persinyalan jenis lampu elektrik (otomatis) produksi Siemens, Jerman.

karena hanya berstatus sebagai halte
Pada sistem persinyalan mekanik, PPKA harus susah payah membolak-balik tuas (handel) persinyalan yang sangat berat, sebaliknya pada sistem persinyalan elektrik, PPKA hanya tinggal menekan tombol saja. Tahun 1996, saat Perumka melakukan penggantian sistem persinyalan pada jalur KA Manggarai—Bogor dari mekanik ke elektrik, Perumka mengubah status UI menjadi “stasiun” dengan membangun emplasemen yang memiliki kendali persinyalan, wesel untuk berpindah jalur (dalam keadaan darurat), dan PPKA.
Naiknya status UI dari “halte” menjadi “stasiun” juga disebabkan kondisi jalur Manggarai—Bogor yang hanya memiliki empat perhentian berstatus “stasiun”, dengan Pasar Minggu—Depok merupakan petak jalan yang paling jauh. Hal tersebut tentu akan sangat merepotkan jika terdapat sebuah insiden ataupun kejadian darurat yang membuat KRL harus berpindah ke jalur lain, sedangkan wesel dan stasiun yang tersedia jaraknya cukup jauh dan membuat kereta mengante. Oleh karena itu, saat sistem persinyalan elektrik dipasang pada tahun 1996, Perumka ikut menaikkan status UI menjadi “stasiun” agar lalu lintas KRL dapat lebih mudah dikendalikan. Hingga hari ini, UI masih berstatus sebagai “stasiun” dan merupakan stasiun penting seandainya terjadi keadaan darurat pada jalur kereta api Manggarai—Bogor.
D. Akhir Kata

Ini adalah gambar yang sempurna! Sebagai antusias sejarah kereta api, gambar ini benar-benar membuat penulis tertarik untuk memandanginya, melihat detail-detailnya, bahkan membedahnya. Gambar ini lebih dari sekadar kereta api biasa. Bagi mereka yang mendalami sejarah kereta api, terutama di wilayah Jabodetabek, gambar ini merupakan berlian; menyimpan kisah sejarah Stasiun UI, sejarah KRD beserta layanannya, hingga sejarah pembangunan jalur kereta api ganda Manggarai—Bogor. Semuanya berkumpul di satu momen yang sama.
Akhir kata, penulis ingin berterima kasih kepada Arsip UI yang telah berkolaborasi dengan Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Wilayah 1 Jakarta dalam acara pameran arsip 2025 bertajuk “ Stasiun UI: Buku, Kereta, & Cinta” yang berlangsung pada tanggal 14—21 September 2025. Puji syukur, acara ini berlangsung dengan meriah, baik di media sosial maupun di lokasi pameran. Pameran tersebut juga mendapat tanggapan positif dari pihak UI, PT KAI, masyarakat, hingga para penggemar kereta api (railfans). Semoga di lain waktu kita dapat berkolaborasi kembali dalam kegiatan-kegiatan serupa.
Ditulis pada 21 September 2025
Penulis/Kontributor: Andra Radithya, IRPS Jakarta.
Editor: A. Zainudin & Raihan Immaduddin