Bahder Djohan : Rektor Ketiga UI & Pemrakarsa PMI

Poster Memori UI 08 tentang dr. Bahder Djohan, Rektor Ketiga UI

 

Perbincangan mengenai kiprah rektor-rektor Universitas Indonesia (UI), kini sudah sampai di episode ketiga. Kali ini, kami ingin memperkenalkan kamu dengan dr. Bahder Djohan, Presiden Universiteit Indonesia ketiga yang menjabat pada periode 1954—1958. Namanya mungkin masih asing di telinga masyarakat Indonesia, tapi ia merupakan sosok penting dibalik lahirnya PMI (Palang Merah Indonesia) dan ILUNI UI (Ikatan Lulusan Universitas Indonesia).

 

Bahder Djohan (ceklis putih) dalam Kongres Pemuda Pertama | Foto: Koleksi Museum Sumpah Pemuda
Bahder Djohan (centang putih) dalam Kongres Pemuda Pertama
Foto: Koleksi Museum Sumpah Pemuda

Kelahiran dan Masa Sekolah Bahder Djohan

Lahir di Padang, Sumatera Barat, pada tanggal 30 Juli 1902. Ia adalah anak kelima dari pasangan Moh Rapal St. Burhanuddin dan Lisah. Ayahnya adalah seorang jaksa. Seperti umumnya anak-anak dari kalangan priyayi atau keluarga terpandang, Beliau berkesempatan untuk menempuh pendidikan Barat di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Bukittinggi dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Selama bersekolah, ia juga aktif dalam gerakan pemuda dan terpilih menjadi Sekretaris Jong Sumatranen Bond cabang Padang.  

Bahder Djohan kemudian pergi merantau ke Batavia (Jakarta) dan melanjutkan pendidikannya di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), Sekolah Dokter Jawa yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di sanalah Bahder Djohan melanjutkan pendidikannya dan menjadi Ketua Perkumpulan Pelajar STOVIA.

 

 

 
Perkumpulan Pelajar STOVIA
Bahder Djohan (tengah) dalam Foto Perkumpulan Pelajar STOVIA
Foto: Koleksi Idayu Perpustakaan Nasional RI
Stovia, Kepemudaan, dan Advokasi Dokter Pribumi

Selama bersekolah di STOVIA, Bahder Djohan tetap aktif mengikuti kegiatan organisasi, khususnya Jong Sumatranen Bond. Ia bahkan diutus untuk menghadiri kongres pertama organisasi tersebut pada Juni 1919. Begitu pun ketika diadakan Kongres Pemuda I pada tahun 1926. Bahder Djohan bahkan terlibat langsung sebagai Wakil Ketua Kongres dan turut serta menyampaikan pidatonya. Ia menyampaikan pidato yang berjudul De Positie Van De Nrouw In De Indonesische Samneving (Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia) (Safwan, 1985: 16).

Meskipun aktif dalam gerakan pemuda, Bahder Djohan tidak pernah melupakan tugasnya sebagai seorang pelajar. Gelar Dokter Pribumi (Indische Art) pun diraihnya pada November 1927. Sebulan kemudian, ia bekerja sebagai asisten Profesor Cornelis Douwe de Langen dalam bidang Penyakit Dalam di rumah sakit CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekeinrichting) yang kini menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Tulisan Bahder Djohan berkolaborasi bersama dr. Achmad Mochtar dan dr. Wahab di Jurnal Medis Hindia Belanda | Sumber: Koleksi Museum Sumpah Pemuda
Tulisan Bahder Djohan (centang putih) bersama dr. Achmad Mochtar dan dr. Wahab di Jurnal Medis Hindia Belanda
Foto: Koleksi Museum Sumpah Pemuda

 

Sebagai seorang yang terpelajar, ia sangat vokal dalam memperjuangkan hak-hak dokter pribumi. Bahder Djohan menginginkan agar dokter pribumi memperoleh hak yang sama dengan dokter Belanda. Sebab di masa itu, dokter pribumi tidak dapat merasakan hal yang sama dengan dokter Belanda. Baik dari cara pandang pemerintah kolonial terhadap mereka, maupun gaji yang diperoleh. Atas dorongan itu, Bahder Djohan aktif melakukan advokasi mengenai hal tersebut.

Berkat advokasinya sewaktu menjadi Sekretaris di Perkumpulan Dokter Hindia Belanda (Vereeniging van Indonesische Geneeskundigen), dokter pribumi kini memiliki hak yang sama dengan dokter Belanda, yaitu bisa berlangganan Jurnal Medis Hindia Belanda (Geneeskundig Tijdschrift).  Profesor Cornelis Douwe de Langen pun ikut mendukung advokasi tersebut. 

Tidak berhenti sampai di situ, Bahder Djohan bersama dengan dokter-dokter pribumi lainnya, juga memperjuangan penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia kedokteran. Kegigihan mereka kemudian berbuah hasil. Ketika Kongres Perkumpulan Dokter Indonesia di Solo dilaksanakan pada tahun 1939, dokter Gularso menyampaikan buah pemikirannya dalam bahasa Indonesia. Di masa pendudukan Jepang, Bahder Djohan bahkan terlibat langsung sebagai Wakil Ketua dalam Panitia Pembinaan Bahasa Kedokteran Indonesia dan berhasil mengumpulkan 3.000 istilah kedokteran dalam bahasa Indonesia (Safwan, 1985: 22). 

Ketika Jepang menduduki Indonesia, beberapa perguruan tinggi yang sebelumnya sempat ditutup akhirnya dibuka, salah satunya adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) (Somadikarta, 1999: 162). Bahder Djohan menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut dan diangkat sebagai asisten Profesor. Ia juga pernah menjadi dokter ahli penyakit dalam di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Salemba. 

 

 
 
 
Serah terima NERKAI yang diwakili oleh Dr. Tricht kepada PMI yang diwakili oleh Bahder Djohan
Serah terima NERKAI yang diwakili oleh Dr. Tricht kepada PMI yang diwakili oleh Bahder Djohan
Foto: Sumber: Twitter @palangmerah
Pengangkatan Bahder Djohan sebagai Menteri PP&K dalam Kabinet Natsir
Pengangkatan Bahder Djohan sebagai Menteri PP&K dalam Kabinet Natsir
Foto: Buku Otobiografi Bahder Djohan, Pengabdi Kemanusiaan hal. 102
 
Palang Merah Indonesia & Menteri
Sejalan dengan profesinya, Bahder Djohan bercita-cita ingin mendirikan organisasi kemanusiaan di Indonesia. Gagasan ini sempat diusulkannya dalam kongres Palang Merah cabang Hindia tahun 1940 di Batavia, namun tidak diterima dengan baik oleh para pejabat Belanda. Salah seorang istri pejabat kolonial bahkan menghina idenya dengan mengatakan bahwa orang-orang pribumi tidak mengerti apa yang dimaksud dengan perikemanusiaan. Keinginannya untuk mendirikan Palang Merah kembali ia ajukan di masa pendudukan Jepang, akan tetapi hasilnya pun sama saja.

Walaupun mendapat penolakan, Bahder Djohan tidak menyerah begitu saja. Cita-citanya untuk mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) akhirnya terwujud setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 3 September 1945. Bahder Djohan merupakan salah satu tokoh yang memprakarsai berdirinya PMI, di bawah arahan Menteri Kesehatan saat itu, dr. Boentaran Martoatmodjo. Ia kemudian menjabat sebagai Sekretaris dalam PMI. Di tahun 1954—1957, perhatiannya pada kemanusiaan dan pengabdian masyarakat juga mengantarkannya menjadi Ketua PMI. 

Selama periode awal kemerdekaan, PMI mengalami berbagai ancaman, salah satunya dari organisasi palang merah buatan Belanda yakni NERKAI (Nederlands Rode Kruiz Afdeling Indie). Namun seusai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Konferensi Meja Bundar, NERKAI melakukan serah terima dengan PMI pada 16 Januari 1950.

Selain di PMI, Bahder Djohan juga dipercaya untuk menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) pada Kabinet Natsir (tahun 1950) dan Kabinet Wilopo (tahun 1952). Ketika menjabat sebagai Menteri PPK, fokus utamanya adalah agar pendidikan dapat merata untuk semua kalangan. Ia juga menginginkan agar masalah mengenai kekurangan biaya, gedung sekolah, dan guru di masa itu dapat ditangani.

 

 

Potret dr. Bahder Djohan, Rektor/Presiden ke-3 Universitas Indonesia
Potret dr. Bahder Djohan, Rektor/Presiden ke-3 UI
Foto: Arsip Universitas Indonesia 
Kiprah sebagai Rektor/Presiden UI

Usai berkecimpung dalam pemerintahan, Bahder Djohan kembali pada profesinya sebagai seorang dokter. Pada tahun 1953 hingga 1954, Bahder Djohan diangkat menjadi direktur Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) (Safwan, 1985: 80). Di tahun yang sama, tepatnya pada 12 Desember 1953, Bahder Djohan diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Indonesia bidang ilmu penyakit dalam. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Presiden Universitas Indonesia ketiga pada tahun 1954-1958.

Pada masa jabatannya, Fakultas Teknik Bandung dan Fakultas Pertanian Bogor UI mengalami kekurangan tenaga pengajar, karena kontrak para pengajar Belanda sudah selesai. Bahder Djohan pun menjalin kerjasama dengan University of Kentucky di Amerika untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Salah satu warisan terbesar Bahder Djohan sebagai President UI adalah lahirnya ILUNI UI (Ikatan Lulusan Universitas Indonesia). Saat itu, UI tengah mengalami krisis keuangan. Hanya 50% dana yang disetujui oleh pemerintah, sehingga Bahder Djohan harus mencari sumber dana lain dari berbagai pihak, salah satunya adalah alumni UI. Bahder Djohan berharap organisasi ILUNI UI dapat senantiasa menjaga hubungan para alumni dengan almamaternya. ILUNI UI kemudian resmi didirikan pada 2 Februari 1958 dalam Rapat Umum di Aula Salemba 4, dengan Dr. Slamet Muljana sebagai ketua ILUNI UI pertama dan Bahder Djohan sebagai Ketua Kehormatan. 

Pada tanggal 25 Februari 1958, Bahder Djohan meletakkan jabatan sebagai Presiden UI karena tidak dapat menyetujui kebijakan pemerintah Indonesia dalam menangani pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Ia kemudian diberhentikan dengan hormat pada bulan Maret 1958 dan digantikan oleh Prof. Soedjono Djoened Poesponegoro sebagai Ketua Presidium (setingkat Rektor) UI.

 

Masa Pensiun

Meski telah pensiun, Bahder Djohan tidak pernah berhenti untuk mengabdi. Ia membuka praktik dokter di Poliklinik Pantja Niaga pada tahun 1966 (Djohan, 1985: 111). Ia juga diberikan kepercayaan menjadi Rektor sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran di Universitas Ibnu Chaldun sejak tahun 1968. Selain bidang kesehatan, Bahder Djohan juga tertarik dengan kebudayaan. Ia pernah menjadi Ketua Steering Committee panitia seminar sejarah dan kebudayaan Minangkabau pada tahun 1970.

Atas jasa-jasanya, Bahder Djohan dianugerahi penghargaan Doctor honoris cause dalam Ilmu Kedokteran oleh UI pada 27 Mei 1972 (Somadikarta, 1999: 163). Menjelang tahun 1981, kesehatan Bahder Djohan semakin memburuk. Pada 8 Maret 1981, Bahder Djohan meninggal dunia dan dimakamkan di Tanah Kusir.

Praktik dokter Bahder Djohan di Poliklinik Pantja Niaga
Praktik dokter Bahder Djohan di Poliklinik Pantja Niaga
Foto: Buku Otobiografi Bahder Djohan, Pengabdi Kemanusiaan hlm. 111
Bahder Djohan memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari UI
Bahder Djohan memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari UI
Foto: Buku Otobiografi Bahder Djohan, Pengabdi Kemanusiaan hlm. 162

 

 

Jelajahi kiprah dr. Bahder Djohan melalui video di bawah ini! 

 

 

 

Referensi 

Aziza, Calista. (Elshinta.com). “3 September 1945: Awal Pembentukan Palang Merah Indonesia”. Diakses melalui https://elshinta.com/news/277825/2022/09/03/3-september-1945-awal-pembentukan-palang-merah-indonesia.  

Djohan, Bahder. (1985). Pengabdi Kemanusiaan. Jakarta: PT Gunung Agung. 

Drooglever, P. J. (1997). “The Genesis of the Indonesian Constitution of 1949”. Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, 153 (1): 65-84. 

Gambar Perkumpulan Pelajar STOVIA (Koleksi Idayu Perpustakaan Nasional RI). Dilansir dari https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=536530. 

Safwan, Mardanas. (1985). Prof. Dr. Bahder Djohan, Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 

Saputra, Eko Septian. (17 Desember 2019). (Museum Sumpah Pemuda). Diakses melalui https://museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id/beranjak-dari-bumi-minang-menjadi-dokter-juang/ pada 7 Maret 2024.  

Somadikarta, S., Wahyuning, Tri., Irsyam, M., Oemarjati S, Boen. (1999). Tahun Emas Universitas Indonesia Jilid I. Depok: Universitas Indonesia.  

 

Kontributor: Amanda Lathifah L. P. & Fathia Nabila Qonita
Desain Poster: Arif Ihsan R.
Editor: A. Zainudin
kontributor